Jumat, 24 Agustus 2012

Apakah Kita Memerlukan Paradigma Baru Dalam Ilmu kedokteran?


Apakah Kita Memerlukan Paradigma Baru Dalam Ilmu Kedokteran?

Ivan Taniputera
24 Agustus 2012

Dewasa ini kita menyaksikan munculnya berbagai penyakit baru yang belum dapat disembuhkan. Apakah ini merupakan peringatan bagi umat manusia bahwa diperlukan paradigma baru dalam ilmu kedokteran. Marilah kita menengok kembali pada sejarah berjangkitnya wabah sampar yang menelan banyak korban jiwa di abad ke-14. Saat itu, para dokter tidak berdaya mengobati penyakit sampar. Penyebabnya adalah paradigma atau konsep yang mereka anut sudah ketinggalan zaman. Mereka ketika itu masih menganut konsep Aristoteles terkait empat elemen, yakni tanah, air, api, dan udara. Berdasarkan konsep tersebut, penyakit timbul akibat adanya ketidak-seimbangan antara keempat elemen ini. Namun konsep tersebut ternyata tidak sanggup menandingi kedigdayaan wabah sampar. Para dokter di zaman Abad Pertengahan belum mengenal mikrobiologi, sehingga tidak mengetahui bahwa penyebab sampar bukanlah "ketidak-seimbangan elemen." Mereka memerlukan paradigma baru dan ilmu kedokteran memang mengalami perombakan dramatis setelah adanya wabah sampar tersebut. Beberapa penemuan baru dalam bidang kedokteran terus  bermunculan selama berabad-abad kemudian.

Apakah adanya penyakit-penyakit baru yang tak tersembuhkan itu merupakan pertanda bahwa umat manusia perlu segera merombak paradigmanya dalam ilmu kedokteran? Siapa tahu. Pola-pola pemikiran yang telah dipegang erat-erat saat ini barangkali perlu dilepaskan atau mungkin diperlukan keberanian dalam mengembangkan hipotesa-hipotesa baru.  Para ahli mikrobiologi perlu mencari pola bagaimana suatu virus bermutasi.



Beberapa terobosan-terobosan lain yang sangat tidak konvensional mungkin perlu dilakukan. Apa yang dahulu dianggap sebagai ilmiah di masa sekarang, barangkali akan disebut tahayul di masa mendatang. Ilmu kedokteran di zaman kita barangkali akan dianggap ketinggalan zaman, kuno, dan primitif pada masa mendatang; sebagaimana halnya kita memandang teori Aristoteles sebagai sesuatu yang sudah ketinggalan zaman. Jika umat manusia terlambat dalam menanggapi peringatan ini, maka barangkali ini merupakan awal proses kepunahan umat manusia.

Rabu, 08 Agustus 2012

Seminar Sukses

Seminar Sukses

Ivan Taniputera
8 Agustus 2012

Dewasa ini kita menyaksikan banyaknya seminar tentang kesuksesan yang ditawarkan.Umpamanya sukses menjadi penjual yang berhasil, sukses pensiun dini, sukses menjadi kaya, dan lain sebagainya. Di sini kita masih menyaksikan bahwa kesuksesan itu hanya dinilai dari sisi materi semata. Benarkah ini kesuksesan sejati? Kalau kita renungkan lebih mendalam, dalam kebanyakan kasus, kesuksesan Anda adalah kegagalan bagi orang lain. Karena hanya ada juara satu, maka jika Anda "berhasil" menjadi juara pertama, itu berarti bahwa orang lain "gagal" menjadi juara pertama. Jadi jelas sekali secara logis, keberhasilan Anda adalah kegagalan bagi orang lain.

Mari kita analisa lebih jauh hal berikut ini, misalkan ada sebuah pabrik yang memproduksi 100 buah barang. Terdapat 10 orang sales dan salah satunya adalah Anda sendiri. Masing-masing sales berupaya menjual sebanyak mungkin dan ingin menjadi sales terbaik. Jikalau Anda berhasil menjual 11 buah barang, maka sudah pasti sales yang lain akan menjual lebih sedikit dibanding Anda. Jadi arti kesuksesan di sini masih dibangun atas dasar kompetisi. Seminar-seminar yang mengajarkan penggapaian kesuksesan masih dibangun atas dasar kompetisi. Sepintas memang kompetisi itu baik, namun mari kita renungkan kembali hal berikut ini.
Bagaimanakah jika kita mengubah paradigma persaingan dalam contoh di atas menjadi demikian: Setiap sales hanya diperkenankan menjual 10 barang saja (100 dibagi 10, yakni jumlah salesnya). Jika ada yang sudah laku semuanya, maka ia terjun membantu sales lain, yang penjualannya paling seret. Di sini terdapat konsep tolong menolong. Semua orang akan mendapatkan hasil yang sama. Manakah yang lebih indah, sistim berdasarkan persaingan ataukah tolong menolong  seperti yang baru saja di ungkapkan?

Dunia kita patut diakui sedang sakit dan menerapkan sistim yang keliru. Kesenjangan sosial meraja lela di mana-mana. Kemiskinan, ketidak-adilan, beserta ketimpangan merajalela di mana. Ada orang yang memiliki tanah berhektar-hektar, sementara yang lain ada yang tidur berjejalan di pondok-pondok kumuh. Ada orang yang makan berlebihan dan tidak jarang membuang-buang makanan, sementara ada orang yang tidak makan selama berhari-hari. Ada orang yang mengatakan bahwa salah orang-orang yang tidur di pondok kumuh itu sendiri, sehingga mereka mengalami nasib demikian. Bahkan seorang pembangkit motivasi mengatakan bahwa tiap orang bisa berhasil. Tetapi benarkah demikian? Anak seorang kaya, semenjak lahir sudah dibekali dengan nilai +1, yakni modal dari orang tuanya. Jika ia mendapatkan mendapatkan pendidikan yang memadai, maka bertambah lagi nilai +1-nya. Ia tentu memiliki rekan-rekan bisnis sesama orang kaya, jadi modal kehidupannya bertambah lagi +1. Kini paling tidak, ia sudah mengantungi nilai +3. Bandingkan dengan orang yang tinggal di pondok kumuh. Ia tidak punya modal apa-apa, nilainya adalah -1. Ia tidak punya kesempatan mendapatkan pendidikan yang memadai, nilainya -1. Koneksinya adalah sesama gelandangan dan pengemis, yang juga sama-sama kekurangan, maka nilainya bertambah lagi dengan -1. Jadi ia mengantungi -3.

Perhatikan betapa kontras perbedaannya. Jika semua orang punya hak untuk berhasil, maka ini adalah pertarungan yang tidak adil. Untuk mencapai kondisi cukup untuk hidup saja, ia harus melampaui 3 poin agar tiba pada nilai 0. Oleh karenanya, seruan pembangkit semangat semacam itu adalah ibarat mengajarkan seseorang bermimpi. Kembali di sini kesuksesan yang dimaksud adalah hanya ditinjau dari sisi materi.

Apakah sukses pensiun dini itu bermoral? Nilai seorang manusia itu adalah manfaat atau kontribusinya bagi sesama. Jika ada orang yang hanya duduk diam menikmati kekayaannya atau hanya ongkang-ongkang kaki saja serta hidup hedonisme, apakah nilainya bagi kehidupan? Orang itu tidak punya nilai sama sekali dan menjadi benalu atau parasit bagi peradaban, karena dia tidak menciptakan nilai tambah sama sekali bagi sesamanya. Lalu bagaimana mungkin seruan pensiun dini dapat dianggap bermoral?

Sebenarnya bagaimanakah kesuksesan yang "sejati"? Kesuksesan "sejati"  adalah kesanggupan menciptakan semakin banyak kebahagiaan baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Pada saat kita mampu "sukses" namun kita justru membantu orang lain agar "sukses" maka itulah kesuksesan sejati. Kesuksesan sejati bukanlah terletak  pada pertanyaan "berapa banyak barang yang  Anda telah jual," melainkan pada "berapa banyak orang yang Anda bantu menjualkan barangnya"? Dalam buku "Geography of Bliss" nampak jelas bahwa sikap altruistik adalah salah satu musabab bagi kebahagiaan. Suatu pencapaian egois yang bercirikan "aku hidup-kamu mati" atau "aku menang-kamu kalah" bukanlah kesuksesan sejati. Ubahlah konsep "kebahagiaanku adalah penderitaan bagi orang lain" menjadi "kebahagiaanku adalah kebahagiaan bagi orang lain, kebahagiaan orang lain adalah kebahagianku juga." Barulah dunia ini akan menjadi lebih baik. Semoga bermanfaat.