Rabu, 17 Oktober 2012

Menyelami Sedikit Filosofi Mozi

Menyelami Sedikit Filosofi Mozi


Ivan Taniputera
17 Oktober 2012 
 
Hari ini saya ingin sedikit menyelami ajaran Mozi.
"Mozi berkata: Agar dapat menyelesaikan segala hal apapun seseorang haruslah mempunyai standar. Tiada seorangpun dapat menyelesaikan sesuatu tanpa mempunyai standar. Seorang berbudi menyelesaikan tugas mereka ssebagai jenderal dan penasihat pastilah mempunyai standarnya. Bahkan para tukang atau seniman dalam melaksanakan tugas mereka juga memiliki standar (acuan). Seorang tukang membuat benda segi empat berdasarkan pada segi empat, membuat benda lingkaran juga menggunakan jangka; mereka menggambarkan garis lurus dengan menggunakan pengaris tukang kayu; serta menyelidiki tegak lurusnya sesuatu dengan bantuan bandul. Seluruh tukang entah ia terlatih ataupun tak terlatih, menerapkan lima standar. Hanya yang terlatih saja yang akurat [hasil kerjanya]. Kendati seorang pekerja tak terlatih belum mencapai ketepatan dalam pekerjaannya, maka mereka akan lebih baik dalam melakukan sesuatu dengan menggunakan standar ketimbang sebaliknya. Jadi seluruh tukang mengikuti berbagai standar acuan dalam bekerja.
Kini, pemerintah kekaisaran dan negara-negara besar tidak lagi mematuhi standar-standarnya. Ini memperlihatkan bahwa para gubernur bahkan kurang pandai dibandingkan tukang."

Ini merupakan uraian Mozi yang sangat menarik. Pertama-tama dengan menggunakan dunia pertukangan sebagai contoh, hal itu memperlihatkan bahwa Mozi sangat dekat dengan dunia teknik. Di sini diperlihatkan mengenai pentingnya bagi kita menggunakan suatu standar dan mematuhi standar tersebut. Karena saya mempunyai latar belakang teknik mesin, maka saya menyadari betapa pentingnya standar tersebut. Dalam dunia teknik mesin di Jerman, kita mengenal apa yang dinamakan DIN (Deutsche Institut fuer Normen) atau Lembaga Standar Jerman. DIN mengatur ukuran berbagai komponen mesin agar dapat selaras satu sama lain. Seluruh ukuran telah ditentukan dengan teliti, umpamanya ukuran baut, mur, roda gigi, rantai, sabuk, bearing, pasak, dan lain sebagainya.

Mengapa perlu ada standar? Supaya segalanya tidak kacau. Selain itu, menurut Mozi adanya standar diperlukan agar bahkan seorang yang kurang piawai sekalipun dapat terbantu dalam melaksanakan tugasnya. Kendati seorang belum berpengalaman maka ia dapat terbantu dengan adanya serangkaian standar ataupun panduan dalam bekerja. Lebih baik bagi seseorang yang belum berpengalaman mematuhi standar ketimbang tidak sama sekali.
Segenap profesi memiliki standarnya masing-masing. Tanpa mengikuti standar ini keadaan akan menjadi kacau dan tidak selaras satu sama lain. Standar ini ibaratnya merupakan "penyamaan bahasa." Manusia semenjak zaman purba sebenarnya telah berupaya menciptakan suatu standar, misalnya standar panjang, massa, dan waktu.

Pada kutipan di atas, Mozi mengkritik pula pemerintah yang dipandangnya tidak lagi mematuhi standar mereka. Jika demikian, apakah para tukang masih lebih pandai dibandingkan para penyelenggara pemerintahan? Mari kita renungkan bersama.

Filosofi Film The Sorcerer and the White Snake





Filosofi Film The Sorcerer and the White Snake
Ivan Taniputera
17 Oktober 2012

Artikel ini dimaksudkan menggali filosofi yang terdapat dalam Film "The Sorcerer and the White Snake." Tentu saja tiap orang bebas menginterpretasikan film ini. Hal terutama yang menarik perhatian saya terkait film ini adalah penggambarannya mengenai dunia. Film tersebut menggambarkan suatu dunia yang dipenuhi siluman. Rahib Fahai (diperankan oleh Jet Li) merupakan seorang pembasmi siluman yang mempunyai "streotip" bahwa siluman itu pasti jahat dan merugikan umat manusia. Memang dalam film itu digambarkan mengenai siluman kelelawar yang akhirnya meracuni Neng Ren (murid Fa Hai). Juga siluman-siluman serigala putih yang menimbulkan wabah di desa. Uniknya, beberapa siluman digambarkan dalam wujud wanita cantik. Ini menandakan suatu bias gender yang memperlihatkan bahwa wanita memang mempunyai kekuatan "perusak" dan "penghancur."

Bagi seorang Fahai yang mencitrakan dirinya "sebagai pelindung umat manusia" maka tiada siluman baik. Seluruh siluman harus ditangkap dan dikurung ke dalam pagoda. Padahal tidak semua siluman itu jahat. Siluman ular putih (diperankan oleh Eva Huang) adalah contoh siluman yang pernah menolong umat manusia. Seseorang seperti Fahai (padahal namanya berarti Lautan Dharma) memandang dunia ini sebagai sesuatu yang hitam dan putih. Jika tidak hitam berarti putih. Orang-orang semacam ini akan cenderung menjadi fanatik membuta dalam tindakannya. Memang benar bahwa ia menganggap dirinya sebagai pelindung umat manusia. Namun pada kenyataannya, tindakan Fahai justru mendatangkan kesedihan bagi Xuxian (diperankan oleh Raymond Lam) yang terpaksa dipisahkan dari isterinya, Siluman Ular Putih. Apabila mendatangkan kesedihan semacam itu, apakah benar ia masih dapat disebut sebagai pelindung umat manusia?

Saya jadi teringat pada suatu organisasi keagamaan yang banyak menebar teror dan kebencian. Mungkin tujuan mereka adalah menegakkan sesuatu yang mereka anggap benar di muka bumi ini. Tetapi berapa banyak kerusakan yang timbul? Pandangan Fahai ini mencerminkan pandangan klasik mengenai kejahatan dan kebaikan, yakni bahwa sesuatu harus jahat murni atau baik murni. Dengan kata lain, tiada ranah bagi sesuatu yang ada di antaranya. Segala sesuatu harus dikategorikan sebagai hitam dan putih. Tiada warna abu-abu. Padahal, kenyataannya sangat sulit menggolongkan sesuatu ke dalam hitam dan putih. Selain hitam dan putih masih ada warna-warna lainnya. Barulah dengan demikian dunia ini nampak indah.

Dunia yang dipenuhi siluman itu, adalah juga khas pandangan kaum fundamentalis. Mereka juga memandang bahwa dunia ini dipenuhi kejahatan dan kemerosotan akhlak. Mereka yang merasa dirinya adalah kaum pilihan lantas bangkit membasmi segenap kejahatan dan kemerosotan akhlak tersebut. Namun sayangnya, terkadang tindakan "pemulihan kemurnian" tersebut justru berdarah-darah. Apakah bukan "kaum pilihan" tersebut yang seharusnya dipulihkan akhlaknya? Mari kita renungkan bersama.

Senin, 01 Oktober 2012

Beruntung & Tidak Beruntung

BERUNTUNG & TIDAK BERUNTUNG
Ivan Taniputera
1 Oktober 2012

Suatu kali seorang pemuda menaksir seorang nonik Belanda yang cantik. Namun ayah nonik Belanda itu tidak merestuinya, karena sang pemuda merupakan bangsa terjajah. Mungkin sang pemuda waktu itu merasa menjadi orang yang paling tak beruntung di dunia. Beberapa tahun kemudian, sewaktu pemuda itu sedang berjalan-jalan, ia menjumpai seorang wanita yang gemuk dan tampak sangat tidak menarik. Ternyata itu adalah nonik Belanda yang dulu ditaksirnya. Sang pemuda merasa bahwa dirinya adalah orang paling beruntung karena dahulu tidak mendapatkan nonik Belanda tersebut. Pemuda itu adalah IR. SOEKARNO, proklamator dan presiden pertama Republik Indonesia (Sumber: Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia oleh Cindy Adams).
 
Pesan moral:  Jangan merasa menjadi orang yang tidak beruntung waktu hidup tidak berjalan sesuai dengan keinginan Anda.