Rabu, 26 Februari 2014

RUMUS HUBUNGAN ANTARA KEBOBROKAN MENTAL, FANATISME, DAN VOLUME OTAK

RUMUS HUBUNGAN ANTARA KEBOBROKAN MENTAL, FANATISME, DAN VOLUME OTAK

Ivan Taniputera
26 Februari 2014



Ini rumus baru temuan saya.

Ternyata fanatisme itu berbanding lurus dengan kebobrokan mental seorang. Jadi semakin bobrok mentalnya maka semakin besar fanatismenya. Semakin besar fanatismenya semakin bobrok mentalnya. Orang yang terlampau fanatik biasanya tidak tahu aturan, bertindak seenak sendiri, dan gemar berlindung di balik akun palsu.

Orang yang tidak fanatik justru lebih baik perilakunya. Mereka tahu aturan dan bersikap sopan santun.

Selanjutnya, fanatisme itu berbanding terbalik dengan volume otaknya. Jadi semakin fanatik seseorang, maka semakin kecil pula volume otaknya. Oleh karenanya, orang yang terlalu fanatik juga akan mengacil volume otaknya, bahkan mendekati volume otak simpanse. Ini saya sebut dengan SINDROM SIMPANSE.

Kalau kita berhadapan dengan orang-orang fanatik ini (seperti di beberapa grup agama dunia maya yang tidak jelas), maka teriakan, hujatan, gangguan dan caci maki mereka adalah tak ubahnya seperti suara gaduh simpanse sedang berulah, jadi tidak perlu dipedulikan. Buat apa kita mempedulikan simpanse yang sedang berulah? Jelas mereka bukan tingkatan kita sebagai orang berpendidikan dan terpelajar. Volume otak mereka yang sangat kecil tidak sebanding dengan volume otak kita selaku manusia normal.

Mari transformasikan fanatisme dan pandangan sempit menuju wawasan luas kemanusiaan.

Fanatisme dan kebodohan akan selalu berselingkuh dan memainkan cinta terlarangnya secara liar, brutal, berisik, dan berdarah-darah.

Semoga rumus ini bisa memenangkan hadiah Nobel.

CATATAN: Volume otak di sini adalah metafora bagi kemampuan berlogika.

Kamis, 20 Februari 2014

INI ILMU TENTANG HOKKIE ATAU KEBERUNTUNGAN YANG TIDAK DIAJARKAN DI SEKOLAH

INI ILMU TENTANG HOKKIE ATAU KEBERUNTUNGAN YANG TIDAK DIAJARKAN DI SEKOLAH

Ivan Taniputera
21 Februari 2014

BUKAN SEKEDAR MOTIVASI!

Ini adalah kelanjutan tulisan saya mengenai hokkie atau keberuntungan, yakni http://sejarahastrologimetafisika.blogspot.com/2014/01/apakah-sumber-keberuntungan-atau-hokkie.html. Para pembaca yang belum pernah membacanya silakan mengunjungi terlebih dahulu laman itu.

Memang benar bahwa ilmu tentang keberuntungan atau hokkie ini tidak pernah diajarkan di sekolah. Memang benar bahwa sekolah dianggap sebagai gudangnya ilmu. Namun sayang sekolah tidak mengajarkan mengenai keberuntungan. Lalu apakah sekolah tidak penting? Bukan demikian halnya. Sekolah memang tidak mengajarkan keberuntungan, namun ilmu yang diperoleh dari sekolah adalah salah satu modal dalam mendapatkan keberuntungan. Walaupun patut diakui bahwa memiliki modal tersebut bukan jaminan Anda beruntung. Tetapi memiliki modal adalah tetap lebih baik ketimbang tidak mempunyai modal sama sekali.

Jadi pada ulasan di atas, jelas sekali kedudukan antara sekolah dan keberuntungan. Kita hendaknya dapat menempatkan sekolah pada posisinya yang benar.  Selanjutnya kita dapat melanjutkan pembahasan kita.

Ada orang bertanya, benarkah keberuntungan itu tidak adil? Benar. Dalam kondisi tertentu memang sumber-sumber keberuntungan itu tidak terdistribusi merata. Seolah-olah random. Beberapa ajaran agama mencoba menjelaskan kerandoman atau keacakan tersebut, namun dalam kesempatan kali ini kita tidak membahas mengenai agama. Alih-alih membahas mengenai agama, kita akan belajar lebih banyak mengenai realita keberuntungan itu sendiri.

Kita harus mengakui bahwa keberuntungan itu memang tidak adil. Itu adalah fakta yang harus kita terima.

Pada artikel sebelumnya yang dimuat pada laman di atas, saya telah menyebutkan bahwa salah satu sumber keberuntungan adalah tampilan jasmani. Pada kenyataannya kita tidak dapat memilih wajah kita seperti apa. Sebelum dilahirkan kita tidak dapat memesan seperti apakah wajah kita kelak. Kita tidak memilih seperti apakah tampilan jasmani kita. Jika dapat memilih, maka kita tentu akan memesan wajah dan jasmani yang rupawan. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Orang yang punya tampilan jasmani rupawan berpeluang lebih "beruntung" ketimbang yang wajahnya kurang rupawan. Walaupun ini tidak berarti bahwa orang yang wajah serta fisinya tidak rupawan pasti tidak beruntung atau sebaliknya. Di sini kita bicara peluang. Ada peluang besar dan kecil. Jadi, para pembaca perlu memahami baik-baik apa yang saya tuliskan agar tidak salah paham.

Sehubungan dengan faktor keluarga, maka kita juga tidak dapat memilih di keluarga mana kita akan dilahirkan. Orang yang lahir di keluarga makmur sudah tentu akan memiliki peluang lebih besar dalam menggapai kemakmuran. Walaupun juga tidak pasti bahwa anak keluarga kaya, pasti kelak hidupnya akan kaya. Namun sekali lagi kita bicara peluang. Ibaratnya orang yang sudah lahir di keluarga kaya, jika kita boleh memberikan suatu skala garis bilangan, maka skalanya sudah berada di atas 0, atau sudah positif. Tentunya lebih mudah baginya menggapai ke atas dibandingkan dengan seseorang yang skalanya masih di bawah 0 atau minus.

Berdasarkan kedua contoh di atas, maka nampak jelas bahwa memang keberuntungan atau hokkie itu mendatangi manusia secara acak atau random. Kita boleh saja melabeli keacakan atau kerandoman ini sebagai ketidak-adilan. Suka atau tidak suka ini adalah faktanya. Kita tidah bisa menolaknya. Oleh sebab itu, jadilah realistis.

Banyak motivator mengajarkan bahwa kita perlu ulet, rajin, punya komitmen, dan bejibun slogan lainnya. Apakah itu adalah suatu jaminan? Tidak. Banyak motivator hanya menjual slogan dan kata-kata indah. Namun kita tidak perlu kata-kata indah. Dalam pelajaran kali ini, kita tidak berkutat dengan kata-kata indah, melainkan realita. Berani menghadapi realita, itulah yang kita butuhkan dalam pelajaran kita tentang hokkie ini. Banyak orang ulet, tetapi tidak dapat meningkatkan taraf hidupnya. Jadi ulet bukan jaminan bagi keberuntungan. Namun bukan berarti saya mengatakan bahwa ulet, punya komitmen, tidak gampang putus asa, dan rajin itu jelek. Tidak. Itu hanyalah salah satu dari sekian banyak modal keberuntungan.

Baik, sampai di sini saya akan ulangi lagi intisari pelajaran kita di atas, yakni:

PELAJARAN I ARTIKEL INI: Keberuntungan memang tidak adil.
PELAJARAN II ARTIKEL INI: Memiliki modal keberuntungan TIDAK menjamin Anda akan beruntung, namun tetap saja LEBIH BAIK mempunyai modal dibandingkan tidak mempunyai modal.

Kita lanjutkan lagi pelajaran kita. Banyak orang yang tidak sadar bahwa sesungguhnya kekuatan kerja sama itu dapat meningkatkan keberuntungan. Inilah kekuatan saling tolong menolong. Sebagai contoh adalah kesalahan yang sering kita lakukan adalah menggunakan media sosial untuk bergosip, berdebat yang tidak berguna, menjelek-jelekkan orang lain (bahasa Jawa:ngrasani), dan lain sebagainya. Mengapa Anda tidak meluangkan waktu Anda dalam menggunakan media sosial untuk saling menolong. Kita ambil contoh facebook. Mengapa Anda tidak saling share status kawan Anda yang sedang menjual dan membutuhkan sesuatu? Apabila kita bisa saling share maka kekuatannya akan dashyat. Namun kalau Anda hanya berbagi kebencian, maka yang sebarkan hanya kebencian. Kalau Anda gemar menyebarkan gosip, maka yang Anda dapatkan juga hanya gosip.

Salah satu fakta nyata mengapa kita tidak beruntung adalah karena kita saling menjegal. Ibaratnya adalah sekelompok kepiting yang berada dalam wadah. Jika ada yang hendak keluar, maka teman-temannya akan menariknya kembali ke dalam. Apakah Anda mau seperti kepiting-kepiting itu, ataukah Anda mau keluar bersama-sama dengan selamat dari wadah. Sama-sama beruntung,

Baik, pelajaran tentang ilmu keberuntungan atau hokkie untuk hari ini akan kita sudahi dahulu. Marilah kita renungkan bersama.

Share ini jika Anda membutuhkan keberuntungan. Dengan berbagi pelajaran tentang ilmu keberuntungan ini, maka Anda juga akan menuai keberuntungan kelak.

Selamat beruntung dan silakan ikuti pelajaran-pelajaran selanjutnya.

Artikel menarik lainnya silakan kunjungi: https://www.facebook.com/groups/339499392807581/

Rabu, 19 Februari 2014

ANAK HEWAN YANG PALING RINGAN DI DUNIA: KEUNIKAN BAHASA JAWA

ANAK HEWAN YANG PALING RINGAN DI DUNIA: KEUNIKAN BAHASA JAWA

Ivan Taniputera
19 Februari 2014


Ternyata anak hewan yang paling ringan di dunia adalah anak gajah. Bagaimana mungkin? Dalam bahasa Jawa anak gajah disebut "bledug," yang juga berarti "debu." Jadi menurut bahasa Jawa "anak gajah" ini bisa ditiup angin dengan mudah, bahkan dapat membuat mata kelilipan.




Bagaimana yang belum memahaminya, salah satu keunikan bahasa Jawa adalah anak-anak hewan diberi istilah sendiri-sendiri, contohnya:
  • Anak gajah disebut bledug
  • Anak cecak disebut sawiyah
  • Anah bandeng disebut nener
  • Anak kambing disebut cempe
  • Anak kucing disebut cemeng
  • Anak anjing disebut kirik
  • Anak tikus disebut cindil
  • Anak kadal disebut tobil
  • Anak kera disebut kowe (kowe ini dalam bahasa Jawa juga berarti "kamu")-sehingga ada pertanyaan jebakan yang berbunyi "kowe anak apa?" Dengan demikian artinya bisa berarti "kamu anak siapa?" Bagi yang terjebak akan menjawab "anak kethek (kera)." Sang penanya akan tertawa terbahak-bahak.
  • Anak kerbau disebut gudel
  • Anak kuda disebut belo
  • Anak macan disebut gogor

Yang lucu adalah anak salah seorang teman waktu ulangan bahasa daerah, ketika menjawab pertanyaan anak asu diarani..... (anak anjing disebut.....), maka dijawabnya "asu cilik" (anjing kecil). Anak tikus diarani..... (anak tikus disebut......), maka dijawabnya "tikus cilik" (tikus kecil). Anak wedhus diarani..... (anak kambing disebut......), maka dijawabnya "wedhus cilik" (kambing kecil). Anak kucing diarani..... (anak kucing disebut......), maka dijawabnya "kucing cilik." Akibatnya ulangannya mendapat nilai nol.

Demikianlah salah satu keunikan bahasa Jawa.

Selasa, 18 Februari 2014

APAKAH DI DUNIA INI YANG TIDAK MUNGKIN MATI?

APAKAH DI DUNIA INI YANG TIDAK MUNGKIN MATI?

Ivan Taniputera
18 Februari 2014

Jikalau mendapatkan pertanyaan ini, maka mungkin kebanyakan orang akan menjawab "tidak ada." Namun sesungguhnya di dunia ini ada sesuatu yang tidak mungkin mati. Apakah itu? Jawabannya adalah aksara Jawa:
  • Ha
  • Ra
  • Nga
Ketiga aksara tersebut sudah memiliki bentuk aksara matinya sendiri, sehingga tidak boleh "dipangku" atau dimatikan dengan tanda "pangkon."



Aksara ha tidak boleh "dipangku" lagi karena jika kita ingin menuliskan huruf mati "h," maka ada aksaranya sendiri atau sandhangannya yang disebut "gajah."

Aksara ra tidak boleh "dipangku" lagi karena jika ingin menuliskan huruf mati  "r," maka ada aksaranya sendiri atau sandhangannya yang disebut "layar."

Aksara nga tidak boleh "dipangku" lagi karena jika ingin menuliskan huruf mati "ng," maka ada aksaranya sendiri atau sandhangannya yang disebut "cecak."

Jadi aksara "ha, ra, dan nga" dalam aksara Jawa mutlak tidak bisa mati.

Bagaimana dengan aksara-aksara lainnya. Secara umum tidak aturan yang melarang aksara selain tiga aksara di atas diberi pangkon. Meskipun demikian, ada juga aksara-aksara lain yang tidak mungkin diberi pangkon, karena tidak ada kata dalam bahasa Jawa yang berakhiran dengan huruf tersebut.

Contohnya adalah aksara ca. Tidak ada kata dalam bahasa Jawa yang berakhiran dengan huruf c.
Aksara nya juga tidak mungkin diberi pangkon, karena tidak ada kata dalam bahasa Jawa yang berakhiran dengan ny.

Aksara-aksara jenis ini bukan tidak dapat mati, melainkan tidak ada kesempatan untuk mematikannya.

Sementara itu, aksara yang umum dipangku misalnya adalah na, ka, dan sa karena banyak kata dalam bahasa Jawa yang berakhiran dengan n dan k. Contohnya adalah dolanan (mainan), katok (celana), dalan (jalan), alas (hutan), dan lain-lain.

Jadi kita boleh menyebutkan bahwa aksara ini bisa mati dan kadang-kadang ada kesempatan untuk mematikannya.

Demikianlah ternyata dalam aksara Jawa terdapat banyak hal menarik.

Selasa, 04 Februari 2014

BANTUAN YANG DITOLAK

BANTUAN YANG DITOLAK

Ivan Taniputera
4 Februari 2014

Beberapa waktu yang lalu saya mendengar kisah mengenai bantuan yang ditolak oleh sejumlah pengungsi bencana banjir di salah satu kota besar. Menurut salah satu sumber disebutkan bahwa mereka tidak menyukai lauk yang diberikan. Pihak yang memberikan bantuan berupa nasi bungkus merasa marah dan barangkali berpikir bahwa para pengungsi tersebut tidak tahu berterima kasih. Konon pakaian yang diberikan sebagai sumbangan juga tidak dipakai. Banyak orang yang lantas mencela perilaku para pengungsi itu. 

Kita akan mencoba menelaah masalah ini dari berbagai sudut. Mungkin mudah bagi seseorang mencela sesuatu ketimbang memahami.

Namun marilah kita menganalisa lebih jauh hal itu berdasarkan hati nurani kita. Marilah menganggap diri kita sebagai pengungsi tersebut. Orang-orang yang mengungsi pasti mengalami batin yang tertekan. Terpaksa hidup dalam kondisi yang tidak nyaman. Belum lagi mereka kehilangan harta benda mereka. Secara ringkas, mereka berada dalam penderitaan.

Karena berada dalam kondisi yang tidak menyenangkan itulah barangkali makanan lezat adalah sekedar penghiburan. Oleh karenanya, alangkah baiknya jika pihak yang berniat memberikan bantuan makanan menanyakan terlebih dahulu makanan apa yang dikehendaki oleh para pengungsi tersebut. Dengan demikian, bantuan dapat lebih tepat sasaran. Jika memang tidak memungkinkan, maka jelaskan secara baik-baik terhadap para pengungsi. Apabila seseorang hendak memberikan bantuan, maka sebaiknya tanyakan terlebih dahulu apa yang perlu dibantu.

Alkisah ada seorang nenek yang menunggu lama di sebuah tempat penyeberangan jalan. Seorang pemuda yang telah memperhatikan hal itu semenjak lama tanpa berpikir panjang menyeberangkan nenek tersebut. Namun sesampainya di seberang nenek itu berkata, "Cu, nenek sebenarnya sedang menunggu cucu nenek di seberang sana. Tetapi sampai sekarang ia belum datang. Kini nenek harus menyeberang lagi ke sana." Membantu seseorang tanpa mengetahui apa yang perlu dibantu dapat membuahkan kekonyolan. Oleh karenanya, pihak yang berminat membantu perlu mengetahui terlebih dahulu bantuan apa yang sekiranya bermanfaat. Di sini kita mempelajari bahwa membantu seseorang pun kita perlu semacam "kepandaian," "ilmu," dan kebijaksanaan.

Selanjutnya, tindakan membuang makanan bantuan tersebut adalah semacam protes sosial. Protes terhadap segenap ketimpangan dan ketidak-adilan yang berada di tengah masyarakat. Pemerintah hendaknya peka terhadap hal ini dan menyadari bahwa barangkali tindakan tersebut adalah cara sekelompok masyarakat menyatakan ketidak-puasannya. Sesungguhnya setiap warga negara berhak terbebas dari bencana banjir. Tentu saja upaya menghindarkan banjir ini memerlukan kerja sama yang erat antara pemerintah dan masyarakat. Masyarakat juga perlu belajar bagaimana menjaga lingkungannya. Banjir ini hendaknya menjadi semacam proses introspeksi dan pembelajaran bersama. 

Dari pihak pengungsi sendiri hendaknya juga dapat menghargai niat baik pihak yang memberi sumbangan, entah niat baik itu tulus atau tidak. Niat baik tetap seyogianya dihargai. Jika tidak menyukai menunya, maka pihak pengungsi dapat mengungkapkan hal itu dengan cara yang santun dan tidak membuang makanannya begitu saja. Jika diberi kritikan, maka pihak pemberi sumbangan makanan hendaknya tidak tersinggung. Mereka hendaknya menyadari bahwa para pengungsi adalah juga manusia, yang masih gemar makan enak sebagaimana halnya diri mereka sendiri. Para pengungsi juga menyadari bahwa pihak pemberi sumbangan dan relawan adalah juga manusia yang menghendaki sambutan baik serta masih dapat merasakan kelelahan batin mau pun jasmani.

Apabila terdapat saling menghargai antara kedua belah pihak ini maka dunia akan menjadi indah. Dunia yang dipenuhi penderitaan akan menjadi bagaikan surga, karena sesungguhnya tiada pemberi dan juga tiada penerima. Semuanya adalah tampilan permainan keshunyataan.

Semoga para relawan dan pengungsi sama-sama diberi ketabahan serta kesabaran.