Minggu, 25 Mei 2014

KITA SELALU HIDUP DI MASA LAMPAU

KITA SELALU HIDUP DI MASA LAMPAU

Ivan Taniputera
25 Mei 2014





Apakah Anda yakin bahwa Anda benar-benar dapat mengetahui apa yang terjadi "sekarang"? Hampir semua orang akan menjawab "ya." Namun apakah benar demikian? Jika Anda menyaksikan seseorang sedang berjalan di taman dan bintang yang berkedip-kedip di kejauhan, apakah peristiwa tersebut sungguh-sungguh terjadi "sekarang"? Marilah kita renungkan.

Kita mulai dengan indra penglihatan terlebih dahulu. Agar dapat melihat sesuatu kita memerlukan cahaya. Cahaya mengenai sebuah benda dan memantul kembali serta masuk ke mata kita. Selanjutnya dari mata dibawa ke otak melalui urat-urat syaraf, sehingga akhirnya kita sanggup melihat gambar tersebut. Demikianlah proses melihat secara sederhana. Namun kita jangan lupa bahwa perambatan cahaya dari benda ke mata kita juga memerlukan waktu. Meskipun cahaya merambat dengan sangat cepat (3 x 10^8 m/s), namun tetap saja perambatannya memerlukan waktu. Dengan kata lain, agar dapat melihat suatu obyek kasat mata, maka kita harus menunggu agar cahaya tersebut sampai ke mata kita. Selanjutnya kita harus menunggu pula agar gambaran tersebut sampai ke otak. Jadi terjadi penundaan secara eksternal maupun internal.

Bagi benda-benda yang relatif dekat, penundaan itu sangatlah singkat, tetapi bagi bintang-bintang yang sangat jauh, maka itu bisa berarti sangat lama. Contohnya adalah bintang yang berjarak 2 juta tahun cahaya dari bumi. Artinya agar dapat mencapai bintang tersebut dari bumi meskipun kita menggunakan roket yang berkecepatan cahaya, diperlukan waktu 2 juta tahun! Dengan demikian, cahaya bintang tersebut yang kita saksikan saat ini berasal dari 2 juta tahun lalu. Apabila kita ingin menyaksikan kondisi bintang tersebut "sekarang," maka kita harus menunggu 2 juta tahun lagi! Itulah sebabnya, bintang-bintang yang kita saksikan di langit saat ini adalah keadaannya beberapa juta tahun lalu, tergantung jaraknya dari bumi. Mungkin juga, saat ini bintang tersebut sudah tidak ada lagi.

Bunyi juga memerlukan waktu saat merambat dari sumber bunyi ke telinga kita. Kecepatan perambatan bunyi jauh lebih lambat dibanding cahaya. Itulah sebabnya kita menyaksikan kilatan petir terlebih dahulu dan setelah itu baru terdengar bunyinya. Cahaya petir lebih dahulu mencapai mata kita, ketimbang bunyinya mencapai telinga kita. Karena bunyi juga memerlukan waktu dalam mencapai telinga kita, maka suara yang kita dengar "sekarang" sesungguhnya berasal dari masa lampau. Kilat telah terjadi lebih dahulu, baru kita mendengar bunyinya. Hal yang sama berlaku pada mata, bunyi yang diterima telinga kemudian akan diteruskan ke otak, dimana hal itu juga memerlukan waktu. Jadi berlangsung waktu tunggu eksternal dan internal.

Begitu pula dengan bau yang berasal dari terlepasnya partikel-partikel suatu benda atau zat, dimana kemudian partikel-partikel itu diterima oleh reseptor pada hidung kita. Selanjutnya reseptor mengirim sinyal ke otak. Partikel merambat juga memerlukan waktu, begitu pula pengiriman sinyal dari reseptor. Terjadi pula waktu tunggu eksternal dan internal.

Barangkali yang tidak memerlukan waktu tunggu eksternal adalah indra peraba dan pengecap. Kita mengecap suatu cita rasa begitu makanan menempel pada lidah, jadi bersifat langsung. Tetapi reseptor pada lidah juga akan mengirim sinyal terlebih dahulu ke otak, sehingga tetap ada waktu tunggu internal. Hal yang sama berlaku pada indra peraba. Oleh karenanya, agar dapat mengecap atau meraba sesuatu, kita juga memerlukan waktu tunggu, yakni agar sinyal mencapai otak. Pada hewan-hewan berukuran besar seperti dinosaurus, mungkin sinyal-sinyal itu mencapai otak mereka dalam waktu lebih lama ketimbang manusia. Jadi misalkan ekor mereka terpotong, maka rasa sakitnya baru akan terasa beberapa waktu kemudian.

Berdasarkan kenyataan di atas, maka kita tidak akan pernah dapat mengetahui apa yang terjadi "sekarang." Kita akan senantiasa hidup di masa lampau.

Sabtu, 10 Mei 2014

ANCAMAN BENCANA BIOLOGIS YANG MENGERIKAN

ANCAMAN BENCANA BIOLOGIS YANG MENGERIKAN

Ivan Taniputera
10 Mei 2014



Kita menyaksikan bahwa dewasa ini dunia telah diancam oleh berbagai virus baru yang belum ada obatnya. Kelangsungan hidup manusia terancam oleh kehadiran virus tersebut. Kita menyaksikan pula bahwa kemajuan teknologi transportasi telah memperpendek waktu perjalanan antar benua. Jika dahulu untuk melakukan suatu perjalanan ke suatu tempat umat manusia memerlukan berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan, namun kini perjalanan dengan pesawat terbang hanya dalam hitungan jam saja. Meskipun demikian, virus baru dan kemajuan dalam bidang teknologi transportasi tersebut justru menghadirkan ancaman baru bagi kelanggengan umat manusia. Hanya dalam hitungan jam atau hari saja, umat manusia berpeluang menemui kemusnahannya.

Misalkan terdapat seorang penumpang pesawat terbang mengidap virus maut, yakni penyebab penyakit yang belum ada obatnya. Ia lalu menularkan virus tersebut pada katakanlah tiga orang di pesawat itu. Misalkan virus tersebut menular melalui percikan ludah atau sentuhan. Apabila virus dapat ditularkan melalui udara, maka seluruh penumpang pesawat berpeluang terkontamintasi. Namun dalam contoh ini kita misalkan saja tiga orang yang tertular.

Empat orang yang sakit itu kemudian berinteraksi pula dengan orang lain selama kunjungan mereka. Sebagai contoh, salah seorang di antara mereka berkencan dengan gadis setempat. Gadis  itu tertular dan ia juga berpotensi menularkan virus maut tersebut pada orang lain. Salah seorang di antara orang yang tertular itu ternyata hanya sekedar transit sebelum melanjutkan perjalanan ke tempat lainnya. Ia juga berpotensi menularkan virus pada orang lain di pesawat dan orang-orang di tempat tujuannya. Dengan demikian, terjadi rantai dan alur penularan virus yang berlangsung sangat cepat. Semakin cepat mobilitas umat manusia, semakin cepat pula penularan dan penyebaran virusnya. Dengan demikian, jika hal ini tidak diantisipasi dengan baik, maka berpotensi menjadi bencana global.

Penyebaran penyakit oleh kaum pendatang memang sudah berkali-kali terjadi dalam sejarah. Sebagai contoh, adalah wabah cacar yang dibawa oleh pendatang Eropa ke Dunia Baru (Amerika). Lalu virus HIV yang dibawa ke Rumania oleh para pelaut. Mereka berkencan dengan pekerja seks komersial setempat dan menularkan virus maut tersebut. Konyolnya, Nicolae Ceausescu, diktaktor Rumania, pada mulanya berkeras bahwa AIDS adalah "penyakit kapitalis" dan tidak mungkin berjangkit di Rumania. Ia tidak menyadari bahwa AIDS sudah merambah masuk Rumania, sehingga tidak melakukan antisipasi sepatutnya. Dengan semakin pesatnya mobilitas umat manusia akibat kemajuan teknologi transportasi, maka penyebaran penyakit menular juga akan semakin cepat. Jika tidak diantisipasi, maka seluruh dunia dapat terkena dampaknya dalam hitungan jam dan hari.

Kendati dewasa ini bandara-bandara telah sanggup mengantisipasi masuknya narkoba, teroris, dan lain sebagainya, tetapi dapat dipastikan mereka belum mampu mendeteksi atau mencegah perpindahan virus-virus berbahaya. Oleh karenanya, persiapan dalam mencegah menghadapi wabah penyakit akibat virus maut tersebut patut dipertanyakan. Jika terjadi ledakan wabah, apakah tenaga medis di seluruh dunia siap? Banyak negara yang masih memiliki layanan kesehatan buruk. Rendahkan kemampuan tenaga medis di negara tersebut justru dapat menyebarkan wabah tersebut lebih jauh. Populasi umat manusia dapat tersapu karenanya.

Semoga renungan ini mendatangkan manfaat dan sanggup membangun wawasan kita.

Rabu, 07 Mei 2014

MUSIK INI

MUSIK INI

Ivan Taniputera.
8 Mei 2014
 
Denting irama alam
Mengalun baik siang malam
Ke palung terdalam kau menyelam
Hingga ke perbendaharaan ujung semesta terdalam
Musik semesta itu senantiasa mengalun
Dengan irama yang berpadu ria
Laksana gemerisik dedaunan di alun-alun
Ditingkah kicau burung gembira
Irama itu ada dalam kalbu
Irama itu ada dalam cahaya
Irama itu ada dalam terbangnya debu
Irama itu kasat mata
Irama itu tidak masat mata
Ia disebut cahaya kasat mata
Ia disebut infra merah
Ia disebut ultra ungu
Ia disebut gelombang radio
Ia disebut bunyi kasat dengar
Ia disebut bunyi tak kasat dengar
Hakikatnya adalah satu
Menyatu membentuk tubuh tunggal
Demikianlah gelombang
Suara musik alunan semesta.