Senin, 29 September 2014

CATATAN FILOSOFI KULINERKU: RENUNGAN MASAKAN FUYUNGHAI VEGETARIAN KREASIKU

CATATAN FILOSOFI KULINERKU: RENUNGAN MASAKAN FUYUNGHAI VEGETARIAN KREASIKU

Ivan Taniputera
29 September 2014




Hari ini saya mencoba berkreasi kuliner dengan mencoba memasak Fuyunghai Vegetarian. Bagi saya segenap kegiatan dapat menjadi meditasi dan renungan yang memperkaya batin. Sebelum membahas makna filosofisnya, saya akan menjelaskan serba sedikit cara membuatnya. Tentu saja karena memasak adalan seni, maka tidak ada cara yang baku. Siapa saja boleh memodifikasi resep sesuai dengan seleranya. Tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah.

Bahan-bahannya adalah sederhana, antara lain adalah sayur-sayuran sesuai selera Anda. Saya menggunakan wortel, jagung, dan kol sebagai sayuran pengisi Fuyunghai. Bahan selanjutnya adalah telur dan tepung terigu. Pertama-tama, wortel, jagung, dan kol direbus sehingga lunak dan tidak terlalu keras. Bumbunya bebas, boleh tambahkan kecap sedikit atau bumbu lain sesuai selera.

Kocok telurnya dan masukkan tepung terigu secukupnya. Masukkan bumbu yang telah dipersiapkan. Goreng Fuyunghainya hingga matang.

Lalu bubuhkan saus tomat. Boleh juga ditambah kacang kapri. Semestinya saya ingin menambahkan kacang kapri, tetapi lupa beli.

Baik kini saya akan memulai renungan filsafat kehidupan saat memasak tadi.  Pertama-tama mata saya tertumbuk pada kuali masak. Saya biasa menggunakan kuali masak yang terbuat dari besi tahan karat (stainless steel). Dalam kehidupan ini, kita jangan sampai berkarat. Jangan sampai kehidupan kita dicemari oleh hal-hal yang tidak bermanfaat. Kita harus meneladani besi tahan karat tersebut yang tidak menjadi berkarat. Jika sudah berkarat atau tergores, maka akan membahayakan kesehatan kita. Akhirnya harus dibuang. Begitu pula seseorang jika sudah berkarat, maka ia akan membahayakan orang lain. Ia akan menjadi batu sandungan bagi orang lain, sehingga akhirnya masuk dalam kalangan yang terbuang.

Wortel mengandung vitamin A yang sehat bagi mata. Secara filosofis, kita memerlukan mata yang sehat, yakni dalam artian pandangan terhadap kebaikan. Kita hendaknya senantiasa memandang pada kebajikan dan jangan memandang keburukan. Kita hendaknya sedapat mungkin memandang setiap makhluk dengan pandangan kasih sayang. Demikianlah aspek-aspek pandangan yang sehat.

Jagung mempunyai cita rasa manis. Begitu pula kita hendaknya senantiasa memandang pada manisnya kehidupan dan jangan melekat pada suramnya kehidupan. Dewasa ini banyak orang yang terus berkutat pada kesedihan dan kepahitan hidupnya. Dengan demikian, ia kehilangan selera pada manisnya kehidupan. Saya tidak memandang orang-orang ini sebagai bersalah. Apakah yang benar dan apakah yang salah? Namun yang pasti itu adalah pilihan. Jika seseorang memilih hidup bahagia, tentu ia akan memandang manisnya kehidupan. Di bagian tengah jagung terdapat bonggol yang keras. Setelah bulir-bulir jagungnya saya pipil, maka bonggolnya saya buang. Saya mendapatkan bahwa maknanya adalah kita jangan menyimpan sesuatu yang tidak bermanfaat atau buruk. Kita mengambil saja apa yang bermanfaat dan baik bagi kita. Apa yang kita anggap tidak bermanfaat atau tidak baik, maka lepaskanlah. Anehnya banyak orang justru terus melekati hal-hal yang tidak bermanfaat dan tidak baik bagi dirinya. Akhirnya justru dapat mengakibatkan penyakit batin. Oleh karena itu, laksana bonggol jagung tersebut, setelah kita memipil bulir-bulir jagungnya, maka buanglah. Jangan dilekati.

Kol mempunyai berbagai lapisan. Setiap lapisannya dapat kita makan. Dengan demikian, kita hendaknya menjadi manusia yang serba guna dan dapat diandalkan. Jangan menjadi manusia yang serba tidak berguna. Sudah tidak berguna malah mengganggu orang lain.

Demikianlah makna yang dapat kita petik dari bahan-bahan pembuat Fuyunghai tersebut.

Semua bahan-bahan itu masih harus kita masak. Demikian pula dalam kehidupan ini, kita jangan kabur dari api kehidupan yang akan memasak kita. Setelah dimasak, maka segenap wawasan dan kepribadian kita akan semakin matang. Segenap bahan makanan kalau mentah tentu tidak enak dimakan. Anda ingin menjadi orang yang wawasan dan kepribadiannya matang atau mentah?

Selama masak kita harus menjaga agar tidak hangus. Begitu pula dalam hidup kita jangan berlebihan. Semuanya ada batasan-batasannya.

Demikian semoga bermanfaat dan dapat menjadi renungan bagi kita semua.

Artikel-artikel menarik lainnya mengenai pelajaran kehidupan, ramalan, Fengshui, metafisika, Astrologi, Bazi, Ziweidoushu, dan lain-lain silakan kunjungi: https://www.facebook.com/groups/339499392807581/


CATATAN FILOSOFI KULINERKU: MERASAKAN SEDIKIT CITA RASA MAKANAN JEPANG SEBAGAIMANA SANTAPAN JASMANI DAN ROHANI

CATATAN FILOSOFI KULINERKU: MERASAKAN SEDIKIT CITA RASA MAKANAN JEPANG SEBAGAIMANA SANTAPAN JASMANI DAN ROHANI

Ivan Taniputera
29 September 2014

Pada tanggal 14 September 2014, saya berkesempatan santap siang pada sebuah rumah makan Jepang. Sebagaimana biasanya, bagi saya acara bersantap, merupakan pula wahana merenung atau memeditasikan berbagai falsafah atau ilmu tentang kehidupan. Bagi saya menyantap makanan bukanlah kegiatan bagi fisik semata, melainkan juga harus sanggup mengenyangkan batin kita pula. Selain perut kita yang merasa kenyang, maka wawasan perbendaharaan pengetahuan kita pun juga hendaknya turut dikenyangkan. Manusia tidak hanya hidup dari makanan jasmaniah saja, karena hakikat kehidupan kita yang bersifat batin serta jasmani.

Saat memasuki rumah makan Jepang, kita akan selalu menyaksikan pernak-pernik budaya Jepang. Sebagai contoh adalah kimono seperti di bawah ini dan juga benda yang bentuknya seperti lampion.



Saat menyaksikannya timbul renungan dalam diri saya sebagai berikut. Jepang adalah negara yang luar biasa. Meskipun sudah mencapai kemajuan yang pesat di segala bidang, namun tidak pernah sekali pun bangsa Jepang meninggalkan budayanya. Kita dapat menyaksikan berbagai festival budaya diselenggarakan di negara tersebut, dan bangsa Jepang tetap sangat antusius mengikutinya. Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan ekonomi tidak menjadikan bangsa Jepang terlena dan merendahkan akar budayanya sendiri. Justru hal ini menjadikan bangsa Jepang semakin kuat. Sebuah bangsa ibaratnya adalah sebatang pohon. Apabila akarnya kuat, maka bangsa tersebut akan sanggup bertahan dari segala terpaan angin. Kendati demikian, penghargaan terhadap budaya bangsa sendiri itu hendaknya tidak menjadi chauvinisme. 

Saya yakin bahwa bangsa Jepang sudah belajar dari kekalahannya pada Perang Dunia II. Mereka tentunya sudah menyadari bahwa kecintaan terhadap bangsa sendiri hendaknya tidak berubah menjadi chauvinisme. Kita tetap melestarikan budaya sendiri, tetapi jangan bangga berlebihan. Kita tetap harus pula menghargai budaya dari setiap bangsa di muka bumi ini. Setiap budaya yang ada adalah ibaratnya bunga-bunga pada sebuah taman. Masing-masing menambah semarak dunia ini. Apalagi jika disertai oleh semangat saling menghormati dan menghargai satu sama lain.

Tiba-tiba saya tersadar dari renungan saya, karena apa yang saya pesan telah keluar.


Saya mengucapkan doa sebelum makan. Saya berdoa agar segala sesuatu yang terlibat dalam persiapan makanan tersebut kelak dapat terlahir di Alam Bahagia. Saya merenungkan kemurahan alam ini pada kita. Saya bersyukur masih dapat menyantap makanan pada hari ini.

Setelah itu saat bersantap saya merenungkan apa makna di balik nasi bento tersebut. Pelajaran kehidupan apakah yang bisa kita ambil darinya? Pertama-tama mari kita saksikan bahwa segala sesuatu yang menyusun nasi bento itu tertata secara rapi pada sebuah nampan kotak. Terdapat kesan bahwa "semuanya telah pada tempatnya." Dalam kehidupan ini, kita hendaknya memiliki kehidupan yang tertata rapi dan bermanfaat. Saya pernah ke Jepang, dan memang segala sesuatunya tertata dengan rapi. Ini adalah sesuatu yang luar biasa. Apabila segalanya tertata, maka kehidupan menjadi lebih mudah dan baik. 
Kemudian nampak segala sesuatu di atas nampan kotak itu mempunyai fungsinya masing-masing. Begitu pula di muka bumi ini, kita semua mempunyai fungsinya masing-masing. Tidak ada manusia yang tidak bermanfaat. Oleh karenanya, tidak perlu kita menjadi rendah diri. Apa pun kemampuan kita, pasti akan bermanfaat bagi masyarakat. Tergantung apakah kita bersedia atau tidak mengamalkan kemampuan kita. Jadi, jangan merasa bahwa kemampuan kita terlalu sedikit. Semua akan bemanfaat pada saat dan tempat yang tepat.  Yang penting adalah kita semantiasa bertekad menaburkan manfaat kebaikan pada sesama manusia.

Saya juga memesan sup ramen


Filosofi kehidupan yang saya dapatkan adalah segala sesuatu yang berbeda-beda jika dipadukan akan menghasilkan cita rasa yang luar biasa. Mie ramen dan daging mungkin berasal dari tempat yang berbeda. Begitu pula kita berasal dari berbagai suku, ras, agama, dan bangsa yang berbeda, namun tetap dapat bekerja sama. Kita yang berbeda-beda ini dapat menciptakan dunia yang lebih baik dan indah.

Selanjutnya keluar pesanan saya berupa sushi.


Perut saya mulai kenyang, dimana hal ini nampaknya memengaruhi kemampuan saya dalam merenung. Putaran otak saya nampaknya semakin melambat, seiring dengan makin kenyangnya perut saya. Makna kehidupan apakah yang dapat saya tarik dari sushi. Saya melihat ke kiri, kanan, atas, dan bawah guna mencari inspirasi. Tiba-tiba saya tersadar saat mengunyah sushi, bahwa ia terdiri dari berbagai lapisan. Di sini saya berpikir bahwa kita dalam kehidupan ini harus saling melapisi. Artinya adalah saling melindungi. Yang kuat melapisi yang lemah. Jangan sampai yang kuat menindas yang lemah, sebagaimana yang dilakukan kaum penjajah dahulu. Kita hendaknya saling melindungi sesuai dengan kemampuan kita masing-masing. Demikianlah saya kira makna kehidupan yang dapat saya peroleh dari menyantap sushi. Alam ini adalah sekolah kehidupan yang sangat berharga. Setiap nafas dan langkah kita adalah proses belajar.

Saya tidak pernah merasa diri saya pandai. Saya akan terus belajar. 

Proses belajar saya hari itu, nampaknya masih harus berlanjut dengan keluarnya mata pelajaran berikutnya, yakni pangsit.


Perut semakin kenyang dan putaran otak semakin berat. Saya masih harus merenung apakah makna di balik pangsit? Saya menghela nafas sejenak karena kekenyangan. Terlintas dalam benak saya bahwa pangsit terbungkus oleh kulit. Pangsit membungkus segenap kelezatan daging yang ada di dalamnya. Ini mengajarkan pada kita bahwa kita hendaknya senantiasa mewadahi prinsip kebaikan bagi sesama. Nampaknya hanya itu saja yang dapat saya pikirkan.

Pelajaran saya hari ini pun berakhir. Perut saya menjadi kenyang dan wawasan pengetahuan saya pun juga menjadi lebih kaya melalui proses perenungan beserta pembelajaran ini.

Marilah kita terus belajar. Saya masih merasa sebagai siswa Taman Kanak-Kanak yang masih perlu belajar. Saya masih banyak berbuat kesalahan di muka bumi ini.

Artikel menarik mengenai filsafat kehidupan, ramalan, Astrologi, Fengshui, Bazi, Ziweidoushu, metafisika, dan lain-lain, silakan kunjungi: