Rabu, 17 Juni 2015

AKU TAHU AKU TAHU

AKU TAHU AKU TAHU

Ivan Taniputera.
16 Juni 2015

Aku tahu apa?
Apa aku tahu?
Tahu apa aku?
Apa-apa aku tahu

Aku tahu aku tahu

SENANDUNG KEBEBASAN

SENANDUNG KEBEBASAN

Ivan Taniputera.
15 Juni 2015


Ketika para manusia itu bergerak
Seiring dengan nafas kebebasan
Menentang tirani pengganyang asa
Penguasa nun duduk di tahta permata
Membelalak murka penuh amarah
Menghentak kaki menggentar alam
Punggawa menghadang arus nurani
Peluru beterbangan menyambar jiwa
Tubuh-tubuh terkapar
Tidak bergerak
Darah menggenang merah merana
Namun nafas kebebasan tiada sirna
Sosok sosok di belakang terus maju
Menyuarakan hati rakyat menderita
Tertindas terus bungkam
Ketika arus deras kebenaran
Tiada kuasa lagi dibendung
Meledak membucah menguak kelaliman
Berarak-arak mengelu-elukan para pahlawan
Mendahului menuju alam keagungan
Jauh dari gentar jauh dari takut
Penguasa durhaka coba bertahan
Tapi banjir air kebenaran
Siapa sanggup menahannya
Batu penghalang bergulir sudah
Raja lalim terguling musnah
Namun perjuangan belum usai
Antek jahat masih bercokol
Mereka masih mendongkol
Melawan kelaliman kapan pernah usai?

Sabtu, 06 Juni 2015

MENJADI PEJABAT: SEBUAH RENUNGAN

MENJADI PEJABAT: SEBUAH RENUNGAN

Ivan Taniputera
6 Juni 2015



Ada banyak orang yang bercita-cita menjadi pejabat. Apabila kita renungkan menjadi pejabat memang merupakan sesuatu yang sangat mulia. Pejabat adalah orang-orang yang bekerja demi kesejahteraan orang lain. Pejabat adalah abdi bagi orang lain. Tidakkah berkarya demi kesejahteraan orang lain dan mengabdi sesama adalah sesuatu yang mulia? Tentunya tidak akan ada orang yang menganggap bahwa hal tersebut bukan tindakan mulia. Apakah yang lebih mulia dibandingkan berkarya demi orang lain?

Kini pandangan kita layangkan pada seorang pejabat  di negeri antah berantah yang sebelumnya terkenal jujur dan tulus. Banyak orang mengelu-elukan Beliau sebagai pejabat yang bekerja dengan sungguh-sungguh demi rakyat. Bahkan Beliau pernah digadang-gadang hendak diangkat sebagai raja baru di negeri antah berantah. Tetapi tiba-tiba rakyat negeri antah-berantah dikejutkan bahwa pejabat tersebut dinyatakan sebagai tersangka tindak pidana korupsi. Berita itu bagaikan petir yang menyambar di siang bolong nan cerah. Tentu sang pejabat belum tentu bersalah. Kelak pengadilan yang akan membuktikan apakah Beliau bersalah atau tidak. Apakah ada konspirasi? Entahlah. Pun bukan tujuan artikel ini memperlihatkan bahwa ia bersalah atau tidak. Tujuan artikel ini adalah membangkitkan renungan kita.

Jikalau kira renungkan lebih jauh, meski menjadi pejabat itu sangat mulia, tetapi kedua kaki mereka masing-masing menginjak pintu gerbang surga dan satu lagi pintu gerbang neraka. Bagaimana bisa? Seorang pejabat akan menghadapi ribuan godaan, yang tak lain dan tak bukan adalah harta, kekuasaan, dan wanita. Seorang mungkin mengawali dengan setumpuk idealisme dan cita-cita mulia, namun siapakah yang tahan menyaksikan segepok uang? Sanggupkah seseorang menahan godaan dan tidak menggadaikan idealisme dan cita-cita mulianya tersebut. Mungkin hanya sedikit saja yang bertahan sampai akhir dan sanggup melangkah memasuki gerbang surga. Tetapi berapa banyak yang kehilangan cita-cita mulianya dan terjerumus ke dalam gerbang neraka? Marilah kita renungkan.

Seorang pejabat ibaratnya adalah sebatang pohon yang berada di puncak gunung. Terpaan angin godaan sungguh dashyat. Dapatkah pohon itu tetap bertahan kokoh dengan akar-akarnya. 

Kita tidak perlu menghujat, menghina, atau memaki orang lain. Jikalau berada di kedudukan atau keadaan yang sama, belum tentu juga kita dapat bertahan. Kita hendaknya justru merasa kasihan. Mereka ibaratnya adalah orang yang tersandung dan jatuh. Orang yang tersandung dan jatuh apakah harus kita hina dan maki-maki? 

Jangan sampai cita-cita mulia itu justru menyeret seseorang ke dalam neraka. Apabila kita ingin mengabdi pada sesama, maka tidak harus sebagai pejabat. Masih banyak lahan pengabdian lain, termasuk menulis dan berbagi pengalaman serta pengetahuan kita pada sesama. 



Setelah membaca artikel renungan ini, masihkah Anda ingin menjadi pejabat? 

Kamis, 04 Juni 2015

KIDUNG BULAN PURNAMA

KIDUNG BULAN PURNAMA

4 Juni 2015
Ivan Taniputera

Malam ini kembali dikau datang
Penghias setelah petang menjelang
Pelita pencurah harapan bagi semua
Menghalau Iblis Kegelapan Semesta

Bulat sempurna tanpa cela
Tersenyum curahkan cahaya mulia
Tiga puluh hari sekali
Di awan-awan engkau menari

Cahayamu indah lembut
Tidak menyilaukan
Marilah kita semua sambut
Hadirnya setiap empat pekan

Katak-katak menyambut dikau
Semua hewan air bergirang riang
Berlompat-lompatan terpukau
kesana kemari berenang-renang

Kebajikannya sungguh banyak
Menemani manusia dalam tidurnya
Membuai manusia terlelap nyenyak
Membimbing agar tak terantuk kakinya

Engkau membantu pasang surut samudera
Hingga kehidupan selalu langgeng
Tanpamu terganggu sudah siklus dunia
Semua makhluk berlarian bingung

Bulan purnama bulan purnama
Kehadirannya kita nantikan selalu
Pemantul cahaya surya
Terbaik sebagai penanda waktu

Bulan purnama bulan purnama
Apakah yang keindahannya sebanding denganmu
Dengan untaian bait berirama
Kami nantikan hadirmu

Untuk para sahabatku selamat menikmati keindahan bulan purnama.

ILMU KEBERUNTUNGAN: MENGHARAPKAN YANG BURUK PADA ORANG LAIN SAMA DENGAN MENGHARAPKAN YANG BURUK PADA DIRI SENDIRI

ILMU KEBERUNTUNGAN: MENGHARAPKAN YANG BURUK PADA ORANG LAIN SAMA DENGAN MENGHARAPKAN YANG BURUK PADA DIRI SENDIRI

Ivan Taniputera
4 Juni 2015

Salah seorang teman berkonsultasi pada saya mengenai usaha tokonya yang sepi. Selama mengenal teman ini, saya mengetahui bahwa ia gemar memaki-maki atau mengata-ngatai pelanggan beserta orang yang kurang disukainya. Ia mengharapkan sesuatu yang buruk menimpa mereka. 
Oleh karenanya, pada kesempatan kali ini, marilah kita merenungkan apa dampak yang mungkin terjadi jika kita mengharapkan sesuatu yang buruk pada orang lain, dalam hal ini pelanggan atau rekan bisnis kita. 

Pertama-tama, seorang pengusaha atau pebisnis tidak akan bisa bertahan jika tidak ada pelanggannya. Seorang pengusaha memerlukan rekan bisnis agar dapat bertahan. Jika tidak ada rekan bisnis dari mana ia akan mendapatkan barang-barang yang dijualnya? Setiap orang saling membutuhkan satu sama lain. Ini adalah fakta yang tidak dapat dipungkiri. Barangsiapa yang hendak memungkiri fakta ini, maka ia harus menghasilkan segala sesuatunya seorang diri; dari hulu ke hilir. Apakah ada yang sanggup?

Kedua, setiap pelanggan adalah potensial. Entah pelanggan itu disukai atau tidak, semuanya berpotensi memberikan keuntungan pada kita. 

Dengan demikian, bijaksanakah jika seorang pedagang atau pemilik toko mengharapkan yang buruk menimpa para pelanggannya, entah pelanggan disukai atau tidak? Mari kita renungkan sebagai berikut, seandainya harapan buruk orang tersebut pada langganan-langganannya terlaksana, dan mereka sungguh-sungguh menjadi bangkrut, bukankah pelanggan-pelanggannya akan hilang atau berkurang? Jika pelanggan-pelanggannya hilang atau berkurang bukankah bisnisnya sendiri akan merosot? Jika bisnisnya merosot, bukankah itu berarti bahwa kebangkrutan sudah berada di pintu gerbangnya sendiri? Dengan demikian, nampak nyata bahwa mengharapkan sesuatu yang buruk pada orang lain, sama denga mengharapkan yang buruk pada diri sendiri. Jadi mengharapkan sesuatu yang buruk pada orang lain adalah tidak bijaksana.

Seorang pelanggan hendaknya mengharapkan sesuatu yang baik pada semua orang. Jika semua orang hidup makmur, bukankah daya beli mereka akan meningkat. Dengan demikian, mereka berpeluang membeli semakin banyak di tokonya. Jika semakin banyak orang berbelanja di tokonya, bukankah ia akan bertambah makmur. Mengharapkan kesejahteraan pihak lain adalah berarti mengharapkan kesejahteraan bagi diri sendiri. 

Selanjutnya, secara logis, jika harapan buruk bagi orang lain, akan menghadirkan emosi-emosi negatif dalam pikiran dan batin kita. Dengan demikian, kemampuan kita dalam bekerja menjadi berkurang. Kita tidak akan sanggup lagi membaca peluang-peluang baik bisnis kita. Kita berpeluang mengambil keputusan-keputusan bisnis yang salah. Terlebih lagi, wajah akan menjadi tidak menyenangkan. Jika begitu, apakah orang senang berbisnis dengan kita? 

Menurut metafisika China, keberuntungan manusia itu bergantung pada tiga faktor, yakni Langit, Bumi, dan Manusia. Faktor Langit adalah nasib dibaca berdasarkan gerakan bintang-bintang (ilmu nasib atau astrologi). Berdasarkan ilmu pengetahuan modern, ini menyangkut faktor cuaca, iklim, keadaan ideologi-politik-ekonomi suatu negara, dan lain sebagainya. Faktor Bumi ini misalnya adalah Fengshui. Berdasarkan kacamata modern, mungkin mengacu pada strategis dan tidaknya suatu lokasi. Mudah dicapai atau tidak. Faktor manusia mengacu pada diri manusia itu sendiri, misalnya bagaimana ia berusaha, berpandangan, dan bersikap. 

Banyak orang hanya menitik-beratkan pada faktor Langit dan Bumi saja, tetapi lupa pada faktor Manusia. Padahal tidak jarang, faktor Manusia dapat menghapuskan keunggulan yang berasal dari kedua faktor lainnya. Sebagai contoh, seseorang hidup pada zaman perekonomian sedang baik dan mempunyai toko atau tempat usaha yang paling strategis di sebuah kota sangat ramai. Namun jika ia lebih suka bermalas-malasan dan jarang membuka tokonya, menurut Anda apakah ia akan menjadi pengusaha sukses? Jadi jangan lupa, faktor Manusia bagaimana pun juga amat sangat penting dan jangan dilupakan. Perhitungan Fengshui sehebat apa pun tidak akan bermanfaat bagi orang malas atau berkepribadian buruk. Termasuk gemar mengharapkan sesuatu yang buruk bagi orang lain. Semua faktor harus kita perhatikan dengan baik. 


ORANG YANG SERING MENDOAKAN ORANG LAIN MURAH REJEKI, MAKA DIRINYA PUN AKAN MURAH REJEKI. 

Semoga bermanfaat.



Artikel menarik lainnya mengenai ramalan, Astrologi, petuah keberuntungan, Fengshui, Bazi, Ziweidoushu, dan metafisika, silakan kunjungi:



Senin, 01 Juni 2015

SENANDUNG RINDU MASA LALU

SENANDUNG RINDU MASA LALU

Ivan Taniputera
1 Juni 2015


Kuberselancar di atas gelombang pasang surut waktu
Menatap batu cadas ribuan tahun
Menjulang menatap awan
Diterpa sinar mentari sepanjang zaman
Manusia datang dan pergi
Dari generasi demi generasi
Membangun dan meruntuhkan peradaban
Ditelan oleh keterlupaan
Pada tahta kosong para kaisar kumelayangkan pandang
Mereka telah pergi dan tak kembali
Reruntuhan istana para raja memanggil-manggil tuannya
Reruntuhan kuil-kuil menatap kesunyian
Tangisan kota-kota tua terbengkalai
Memekik dengan sedih
Ke mana mereka yang dulu ramai di sini?
Memanggil meratapi yang telah meninggalkan mereka
Barisan para pembangun tamadun
Nan melangkah  pasti menuju masa silam
Denting-denting musik melantunkan lagu-lagu lama
Terkenang masa-masa lalu
Penghias helaian buku sejarah
Prajurit-prajurit memasuki gerbang terlupakan
Hanya jejak-jejak samar tersisa
Yang segera terhapus oleh jejak-jejak berikutnya
Semenjak keabadian