Minggu, 20 Mei 2012

Soal-soal Teori Tentang Kalor untuk Kelas VII

Ivan Taniputera
20 Mei 2012


Soal-soal Mengenai Kalor

Ivan Taniputera
20 Mei 2012



Buku Pelajaran Bahasa Daerah Jadul: Salah Satu Materi Menelaah Sejarah Pendidikan

Buku Pelajaran Bahasa Daerah Jadul: Salah Satu Materi Menelaah Sejarah Pendidikan

Ivan Taniputera
20 Mei 2012

Beberapa waktu yang lalu saya mendapatkan buku yang menarik ini. Isinya adalah pelajaran bahasa daerah (dalam hal ini bahasa Jawa) yang diajarkan pada zaman dahulu. Data buku adalah sebagai berikut:

Judul : Patjitan: Lajang watjan kanggo ing Pamulangan Guru, S.M., Kursus Guru lan panunggalane (Dalam bahasa Indonesia: Patjitan: Buku Bacaan Untuk Pengajaran Guru, S.M., Kursus Guru dan semacamnya). Jilid 1.

Pengarang: M. Mardjana dan M. Samoed Sastrowardojo,

Penerbit: J.B. Wolters-Groningan-Djakarta.

Tahun terbit: 1951.




Pelajaran bahasa daerah pada zaman saya masih bersekolah diberikan mulai dari SD kelas 3 hingga SMP kelas 3 (sekarang disebut juga kelas IX). Pelajaran ini merupakan salah satu pelajaran yang saya sukai, terutama dalam menulis aksara Hanacaraka. Buku ini berisikan 32 bacaan pendek dalam bahasa Jawa. Guna menguji kemampuan berbahasa daerah saya saat ini, saya akan mencoba menerjemahkan sebuah bacaan yang sekiranya menarik.
Berikut ini adalah terjemahan bacaan bernuansa humor di halaman 30-31:

WONG TJETIL LORO
(Dua Orang Pelit)

Ing negara Kupah ana wong tjetil, krungu warta jen ing negara Balsora ana wong kang ngungkuli tjetile. Wong Kupah mau nemoni wong Balsora. Bareng wis ketemu, tjelatune: "Kisanak, kula niki saweg djajal2 sinau tjetil, kula kepenging mang wulang, rekane bisa tjetil niku pripun?'

(Di negeri Kupah ada orang pelit. Mendengar kabar bawa di negeri Balsora ada orang yang lebih pelit, orang pelit tadi hendak menemui orang Balsora tersebut. Sesudah berjumpa berkatalah ia, "Saudara, saya ini telah belajar menjadi pelit. Saya ingin belajar pada Anda, supaya bisa menjadi pelit itu bagaimana?")

Wangsulane wong Balsorra: "Enggih ta, prajogi. engga saniki pada teng pasar tetuku."

(Jawab orang Balsora, "Baiklah, bersabarlah. Mari sekarang kita bersama-sama ke pasar untuk berbelanja.")

Wong loro mau menjang pasar, ndjudjug ing dasarane wong adol roti. Wong Balsora takon: "Samang napa adol roti sing etja?"

(Kedua orang itu pergike pasar dan mendatangi tempat berjualan roti. Orang Balsora bertanya, "Saudaraku, apakah Anda menjual roti yang enak?")

Wangsulane tukang roti: "Onten mawon; empuk kaja mertega."

(Jawab tukang roti, "Ada saja; empuk seperti mentega.")

Wong Balsora tjelatu marang kantjane: "Lo, di, jen ngoten mertega niku luwih betjik tinimbang roti, marga roti sing betjik kok dipadakake mertega. Mulane saniki pada tuku mertega mawon."

(Orang Balsora berkata pada temannya, "Lo, Dik! Kalau begitu mentega itu lebih baik dibandingkan roti, karena roti yang enak kok diumpamakan dengan mentega. Oleh sebab itu, marilah sekarang kita membeli mentega saja.")

Wong loro mau bandjur menjang ing dasarane ing dasarane wong adol mertega. Wong Balsora takon: "Kang, ngriki napa onten mertega sing betjik?"

(Kedua orang itu lantas pergi ke tempat penjual mentega. Orang Balsora bertanya, "Kak, apakah di sini menjual mertega yang baik?")

Wangsulane: "Onten, etja tur bening kaja lenga selat."

(Jawabnya, "Ada, enak dan bening laksana minyak selat.")

Wong Balsora tjelatu: "Kisanak, samang mireng kijambak, mertega sing betjik dipadakake lenga selat, jen ngoten lenga selat luwih betjik tinimbang mertega, luwih enak lan luwih pengadji."

(Orang Balsora berkata, "Saudaraku, Anda dengar sendiri, mentega yang baik itu diumpamakan dengan minyak selat. Kalau begitu minyak selat lebih baik dibanding mentega. Lebih baik dan lebih berharga.")

Wong loro mau bandjur menjang dasarane wong adol lenga selat, takon: "Kang, napa samang adol lenga selat sing etja?"

(Kedua orang itu lalu pergi ke tempat penjual minyak selat, seraya bertanya, "Kak, apakah Anda menjual minyak selat yang enak?")

Wangsulane: "Enggih onten niki, bening kaja banju."

(Jawabnya, "Ada, bening seperti air.")

Wong Balsora tjelatu marang kantjane: "Lo, kisanak, samang krungu dewe niku jen lenga kalah betjik kalih banju, tandane lenga sing betjik dipadakake banju. Engga pada mulih mawon, kula duwe banju segentong. Mengke sampejan kula suguh."

(Orang Balsora berkata pada kawannya, "Lho, Saudara, Anda dengar sendiri kalau minyak itu kalah berharga dibandingkan air, karena minyak yang baik itu diumpamakan dengan air. Ayo mari kita pulang saja. Saya punya air satu gentong. Nanti akan saya suguhkan pada Anda.")

Tekan ing omah dajoh adoh saka Kupah mau sidane mung disuguh "anggur tjap senggot."

(Sampai di rumah tamu jauh dari Kupah tadi akhirnya disuguhi "anggur rasa tawar.")

Berikut ini adalah puisi dalam bahasa Jawa mengenai Gunung Merapi (halaman 43-44)

GUNUNG MERAPI

Gunung Merapi,
Gede duwur nggegirisi
Sing mulat mesti tanja,
Baja sapa kang akarja.

(Gunung Merapi
Tinggi besar menggentarkan
Orang bijak pasti bertanya,
Siapakah yang menciptakannya).

Gunung Merapi,
Mawa kukus lawan geni,
Lamun kurda mutah lahar
Bilih nradjang kabeh kobar.

(Gunung Merapi,
Mengeluarkan asap dan api,
Bahkan memuntahkan lahar
Yang diterjang semuanya berkobar).

Gunung Merapi,
Udan awu duk ing nguni,
Geger sagung para djanmi,
Tilar wisma mlaju ngungsi.

(Gunung Merapi,
Jika sudah hujan abu di sana,
Ributlah para penduduk,
Meninggalkan rumah lari mengungsi).

.........


Buku sangat bermanfaat dan barangkali dapat menjadi bekal apabila saya berniat menyusun buku mengenai sejarah pendidikan di tanah air.

Tidak Naik Kelas Bukanlah Hal Memalukan


Tidak Naik Kelas Bukanlah Hal Memalukan

Ivan Taniputera
20 Mei 2012

Alkisah, seorang teman menceritakan mengenai anaknya yang malas belajar, sehingga mendapatkan nilai buruk dan terancam tinggal kelas. Ini merupakan masalah klasik yang sudah terjadi dari zaman dahulu. Oleh karenanya, pada kesempatan kali ini saya hendak mengulas mengenainya. Pertama-tama kita harus menyadari bahwa manusia itu sangatlah beragam, termasuk dalam hal kemampuan menerima pelajaran. Ada yang lambat dan ada pula yang cepat. Kita tidak dapat dan memang seyogianya tidak memaksakan bahwa setiap orang harus mempelajari suatu bidang dalam kurun waktu yang sama. Bakat dan minat seseorang juga amat sangat beragam. Terdapat berbagai alasan mengapa seorang anak tidak mudah menyerap suatu pelajaran. Ada yang memang kemampuannya agak lambat, seperti dalam kasus anak-anak berkebutuhan khusus ataupun anak-anak yang sebenarnya memiliki kemampuan  dan sesungguhnya tidak lambat belajar, namun kurang motivasi.

Kedua, kita perlu mendefinisikan ulang apa itu tujuan seseorang belajar dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Banyak orang hanya mengejar nilai atau ijazah semata. Ini sah-sah saja, walaupun bukan tujuan belajar yang ideal. Seharusnya, belajar itu agar seseorang menjadi memahami mata pelajaran yang diajarkan. Itulah sebabnya, sekarang kita mengenal apa yang dinamakan standar kompetensi. Jadi seseorang dianggap "berhasil" apabila telah memahami topik-topik tertentu sesuai dengan jenjang pendidikan dan mata pelajaran yang telah ditentukan pula. Bagaimanapun juga kriteria "keberhasilan" itu dilihat dari "nilai ujian." Hingga saat ini kita belum dapat menemukan cara  atau metoda lain guna menentukan "keberhasilan" tersebut selain dari ujian. Dengan demikian, kita tidak akan membahasnya lebih jauh.

Menimbang kedua hal diatas, yakni (1) kemampuan dan kecepatan belajar tiap orang yang berbeda-beda dan (2) tujuan ideal belajar adalah agar seseorang memahami apa yang diajarkan, maka adalah wajar jika ada anak yang belajar "lebih lama" pada suatu kelas dibandingkan yang lainnya. Ini adalah konsekuensi wajar kedua hal yang baru saja saya sebutkan. Apabila seorang anak "tinggal kelas," hal itu sama sekali bukan sesuatu yang memalukan. Lebih baik dia tinggal kelas agar tidak kesulitan di jenjang pendidikan berikutnya. Karenanya, tinggal kelas adalah justru sesuatu yang sangat positif bagi anak itu sendiri. Jikalau belum siap dengan jenjang atau tingkatan berikutnya untuk apa dipaksakan?

Tinggal kelas dapat pula dipergunakan memotivasi seorang anak yang malas belajar. Diharapkan bahwa dengan tinggal kelas itu ia dapat terpacu meningkatkan semangatnya dalam belajar. Hal ini justru hendaknya menjadi cambuk bagi dirinya agar belajar lebih keras mengejar ketertinggalannya. Tinggal kelas memang bukan sesuatu yang memalukan atau aib, namun juga bukan sesuatu yang terpuji. Lebih baik, jika seseorang dapat menyelesaikan jenjang pendidikan dalam kurun waktu yang sama dengan kebanyakan orang lainnya. Tentunya ini dengan mempertimbangkan kemampuan si anak juga. Jadi, agar tidak terjadi kesalah-pahaman, tulisan ini bukan dimaksudkan sebagai anjuran agar seseorang tinggal kelas saja agar pengetahuannya lebih matang; melainkan hendak memberikan wawasan obyektif mengenai tidak naik kelas itu sendiri. Satu hal penting lagi yang perlu disebutkan di sini adalah orang tua harus pula berperan aktif memotivasi anaknya agar dapat mengerahkan kemampuannya secara maksimal, juga tantangan bagi guru agar mengajarkan sesuatu dengan menarik. Semoga bermanfaat.

Kamis, 17 Mei 2012

Akar

AKAR

Ivan Taniputera
17 Mei 2012

Hidup harus kuat berakar
Tanpa akar nan perkasa mudah goyah
Angin menerpa lirih
Sudahlah goyang kiri apalagi kanan
Bila sang akar tumbuh kokoh
Topan badai tiada mengganggu
Teguh kuat berdiri menentang
Laksana pahlawan teruna perkasa
Hadapi selaksa musuh
Karena itu sedari muda
Teguhkanlah akarmu
Tanam ilmu jangan ragu