Buku
Pelajaran Bahasa Daerah Jadul: Salah Satu Materi Menelaah Sejarah Pendidikan
Ivan Taniputera
20 Mei 2012
Beberapa waktu
yang lalu saya mendapatkan buku yang menarik ini. Isinya adalah pelajaran
bahasa daerah (dalam hal ini bahasa Jawa) yang diajarkan pada zaman dahulu. Data
buku adalah sebagai berikut:
Judul :
Patjitan: Lajang watjan kanggo ing Pamulangan Guru, S.M., Kursus Guru lan
panunggalane (Dalam bahasa Indonesia: Patjitan: Buku Bacaan Untuk Pengajaran
Guru, S.M., Kursus Guru dan semacamnya). Jilid 1.
Pengarang: M.
Mardjana dan M. Samoed Sastrowardojo,
Penerbit: J.B.
Wolters-Groningan-Djakarta.
Tahun terbit:
1951.
Pelajaran bahasa
daerah pada zaman saya masih bersekolah diberikan mulai dari SD kelas 3 hingga
SMP kelas 3 (sekarang disebut juga kelas IX). Pelajaran ini merupakan salah
satu pelajaran yang saya sukai, terutama dalam menulis aksara Hanacaraka. Buku
ini berisikan 32 bacaan pendek dalam bahasa Jawa. Guna menguji kemampuan
berbahasa daerah saya saat ini, saya akan mencoba menerjemahkan sebuah bacaan
yang sekiranya menarik.
Berikut ini
adalah terjemahan bacaan bernuansa humor di halaman 30-31:
WONG TJETIL LORO
(Dua Orang
Pelit)
Ing negara Kupah
ana wong tjetil, krungu warta jen ing negara Balsora ana wong kang ngungkuli
tjetile. Wong Kupah mau nemoni wong Balsora. Bareng wis ketemu, tjelatune:
"Kisanak, kula niki saweg djajal2 sinau tjetil, kula kepenging mang
wulang, rekane bisa tjetil niku pripun?'
(Di negeri Kupah
ada orang pelit. Mendengar kabar bawa di negeri Balsora ada orang yang lebih
pelit, orang pelit tadi hendak menemui orang Balsora tersebut. Sesudah berjumpa
berkatalah ia, "Saudara, saya ini telah belajar menjadi pelit. Saya ingin
belajar pada Anda, supaya bisa menjadi pelit itu bagaimana?")
Wangsulane wong
Balsorra: "Enggih ta, prajogi. engga saniki pada teng pasar tetuku."
(Jawab orang
Balsora, "Baiklah, bersabarlah. Mari sekarang kita bersama-sama ke pasar
untuk berbelanja.")
Wong loro mau
menjang pasar, ndjudjug ing dasarane wong adol roti. Wong Balsora takon:
"Samang napa adol roti sing etja?"
(Kedua orang itu
pergike pasar dan mendatangi tempat berjualan roti. Orang Balsora bertanya,
"Saudaraku, apakah Anda menjual roti yang enak?")
Wangsulane
tukang roti: "Onten mawon; empuk kaja mertega."
(Jawab tukang
roti, "Ada saja; empuk seperti mentega.")
Wong Balsora
tjelatu marang kantjane: "Lo, di, jen ngoten mertega niku luwih betjik
tinimbang roti, marga roti sing betjik kok dipadakake mertega. Mulane saniki
pada tuku mertega mawon."
(Orang Balsora
berkata pada temannya, "Lo, Dik! Kalau begitu mentega itu lebih baik
dibandingkan roti, karena roti yang enak kok diumpamakan dengan mentega. Oleh
sebab itu, marilah sekarang kita membeli mentega saja.")
Wong loro mau
bandjur menjang ing dasarane ing dasarane wong adol mertega. Wong Balsora
takon: "Kang, ngriki napa onten mertega sing betjik?"
(Kedua orang itu
lantas pergi ke tempat penjual mentega. Orang Balsora bertanya, "Kak,
apakah di sini menjual mertega yang baik?")
Wangsulane:
"Onten, etja tur bening kaja lenga selat."
(Jawabnya,
"Ada, enak dan bening laksana minyak selat.")
Wong Balsora
tjelatu: "Kisanak, samang mireng kijambak, mertega sing betjik dipadakake
lenga selat, jen ngoten lenga selat luwih betjik tinimbang mertega, luwih enak
lan luwih pengadji."
(Orang Balsora
berkata, "Saudaraku, Anda dengar sendiri, mentega yang baik itu
diumpamakan dengan minyak selat. Kalau begitu minyak selat lebih baik dibanding
mentega. Lebih baik dan lebih berharga.")
Wong loro mau
bandjur menjang dasarane wong adol lenga selat, takon: "Kang, napa samang
adol lenga selat sing etja?"
(Kedua orang itu
lalu pergi ke tempat penjual minyak selat, seraya bertanya, "Kak, apakah
Anda menjual minyak selat yang enak?")
Wangsulane:
"Enggih onten niki, bening kaja banju."
(Jawabnya,
"Ada, bening seperti air.")
Wong Balsora
tjelatu marang kantjane: "Lo, kisanak, samang krungu dewe niku jen lenga
kalah betjik kalih banju, tandane lenga sing betjik dipadakake banju. Engga
pada mulih mawon, kula duwe banju segentong. Mengke sampejan kula suguh."
(Orang Balsora
berkata pada kawannya, "Lho, Saudara, Anda dengar sendiri kalau minyak itu
kalah berharga dibandingkan air, karena minyak yang baik itu diumpamakan dengan
air. Ayo mari kita pulang saja. Saya punya air satu gentong. Nanti akan saya
suguhkan pada Anda.")
Tekan ing omah
dajoh adoh saka Kupah mau sidane mung disuguh "anggur tjap senggot."
(Sampai di rumah
tamu jauh dari Kupah tadi akhirnya disuguhi "anggur rasa tawar.")
Berikut ini
adalah puisi dalam bahasa Jawa mengenai Gunung Merapi (halaman 43-44)
GUNUNG MERAPI
Gunung Merapi,
Gede duwur
nggegirisi
Sing mulat mesti
tanja,
Baja sapa kang
akarja.
(Gunung Merapi
Tinggi besar
menggentarkan
Orang bijak
pasti bertanya,
Siapakah yang
menciptakannya).
Gunung Merapi,
Mawa kukus lawan
geni,
Lamun kurda
mutah lahar
Bilih nradjang
kabeh kobar.
(Gunung Merapi,
Mengeluarkan
asap dan api,
Bahkan
memuntahkan lahar
Yang diterjang
semuanya berkobar).
Gunung Merapi,
Udan awu duk ing
nguni,
Geger sagung
para djanmi,
Tilar wisma
mlaju ngungsi.
(Gunung Merapi,
Jika sudah hujan
abu di sana,
Ributlah para
penduduk,
Meninggalkan
rumah lari mengungsi).
.........
Buku sangat
bermanfaat dan barangkali dapat menjadi bekal apabila saya berniat menyusun
buku mengenai sejarah pendidikan di tanah air.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar