Kamis, 26 Agustus 2010

Kisah Zhuangzi

Kisah Zhuangzi


Ivan Taniputera


 
Ini adalah kisah yang berasal dari Zhuangzi seorang ahli filosofi kuno dari Tiongkok mengenai Chaos (hun tun).

Suatu kali kawan-kawan sang Chaos bermaksud memberinya hadiah karena mereka merasa berhutang budi padanya. Mereka memikirkan hadiah apa yang pantas untuk diberikan pada sang Chaos. Maka karena mereka melihat bahwa sang Chaos tidak mempunyai mata, diberikanlah Chaos mata, karena Chaos tidak punya telinga maka diberikanlah telinga. Hingga akhirnya lengkaplah Chaos dengan keenam indriyanya. Pada saat mereka bersuka ria atas keberhasilan mereka, maka matilah sang Chaos.

Kisah ini sungguh sangat dalam. Chaos tidak memiliki mata, telinga, hidung, dan lain sebagainya, maka di dalamnya tidak ada diskriminasi. Inilah yang barangkali dalam Buddhisme disebut dengan Buddhanature (Foxing) dan merupakan hakekat terdalam semua makhluk.

Ajaran Zhuangzi ini sungguh selaras dengan Buddhisme. Segala macam pikiran diskriminatif kita bangkit dari sikap membeda-bedakan ini yang disebabkan oleh kontak antara indriya dan obyek-obyek indriya. Mata menyenangi obyek-obyek yang indah. Telinga menyenangi suara-suara indah. Terciptalah dualisme indah dan buruk, baik dan jahat, dan lain sebagainya. Tujuan dari Buddhisme adalah mengembalikan kita pada kondisi asali yang tanpa diskriminatif ini, dimana dalam Sutra Hati dikatakan: "Tiada mata, tiada telinga, tiada hidung, ....." Chaos menurut Ajaran Zhuangzi ini dapat disejajarkan dengan Tathagatagarbha (Rulaizang) dalam Buddhisme, yang merupakan asal dari segala sesuatu. Karena sifat diskriminatif kita maka kecemerlangan Tathagatagarbha ini tertutup oleh segenap hambatan spiritual yang terdiri dari klesavarana dan jneyavarana. Klesavarana ini relatif kasar dan mudah untuk di diamati, sementara jneyavarana ini lebih halus. Klesavarana ini merupakan kekotoran batin dalam artian umum, sementara jneyavarana meliputi kekotoran batin dalam bentuk intelektual. Kekotoran batin dalam bentuk intelektual ini lebih susah diatasi. Banyak orang yang gagal datang dalam kebenaran karena pikiran mereka dipenuhi oleh berbagai konsep, yang sesungguhnya merupakan pandangan salah. Konsep ini merupakan pandangan salah yang menghalangi kita untuk mengenali Buddhanature kita. Pandangan salah inilah yang mematikan sang Chaos.

Demikianlah sedikit renungan kita pada kesempatan kali ini

(Ivan Taniputera dipl. Ing. 1 April 2004).

Catatan: kisah ini berkaitan dengan paham Taoism terutama dalam kitabnya Qing Jing Jing yang membicarakan bahwa sentuhan 6 indra itu membuat manusia tidak bisa memahami hakekat dari Dao. Isi yang serupa terdapat dalam kitab Sutra Hati Buddhism Mahayana.

Zhuang Zi diberi gelar NanHua ZhenRen dan kitabnya disebut NanHua Zhen Jing

Minggu, 01 Agustus 2010

Indahnya Perbedaan

Indahnya Perbedaan

Ivan Taniputera
(1 Agustus 2010)



Sebentar lagi, negeri kita akan memperingati ulang tahunnya yang ke-65. Indonesia adalah suatu negeri yang terdiri dari beragam suku bangsa beserta segenap adat istiadat dan bahasanya masing-masing. Namun pada tanggal 17 Agustus 1945 kita telah sepakat membentuk suatu keluarga besar atau nation yang disebut Indonesia. Keragaman yang ada pada bangsa kita ini sebenarnya adalah suatu keindahan.


Pengalaman sejarah membuktikan bahwa segenap suku bangsa dari Sabang hingga Merauke pernah merasakan pahitnya penjajahan dan kolonialisme. Berbekalkan perasaan senasib dan sepenanggungan ini, para pemuda Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 mencetuskan apa yang dinamakan Sumpah Pemuda:


Bertanah air satu Tanah Air Indonesia
Berbangsa satu Bangsa Indonesia
Berbahasa  satu Bahasa Indonesia

Semangat persatuan ini merupakan jembatan menuju pintu gerbang kemerdekaan.

Kini setelah kemerdekaan diraih, apakah generasi muda sekarang masih sanggup meneladani semangat penghargaan terhadap perbedaan? Bagaimanakah generasi sekarang menyikapi perbedaan tersebut? Perbedaan itu antara lain berupa SARA ataupun perbedaan dalam hal pendapat. Apakah masing-masing pihak dapat menerima perbedaan tersebut?

Dalam suatu diskusi, tidak jarang terdapat pribadi-pribadi yang kurang dapat menghargai pendapat orang lain. Mereka merendahkan dan berkeras sedapat mungkin "menghantam" lawan diskusinya. Tindakan ini sesungguhnya kurang sehat. Bagaimanapun juga kita hendaknya sanggup menyadari bahwa perbedaan itu memang indah. Barulah dengan demikian, sikap saling menghargai dapat dibina. Semua ini merupakan komponen-komponen penting demi menjaga kesatuan bangsa dan negara.

Perbedaan bukanlah alasan saling memusuhi. Merupakan ajang pengenalan bahwa hidup ini sesungguhnya memang berwarna-warni. Jika kita mewarnai dunia hanya dengan satu warna saja, tentulah tiada keindahan itu lagi. Keragaman itu sungguh merupakan keindahan tiada tara dan sungguh merupakan suatu anugerah. Kedewasaan dalam diri suatu sosok nampak pada kesanggupannya menghargai dan mensyukuri segenap perbedaan itu.

Apakah Uang Membuat Bahagia?

Apakah Uang Membuat Bahagia?


Ivan Taniputera
(1 Agustus 2010)


Hampir sebagian besar manusia di muka bumi ini berjuang mencari uang. Ada yang bekerja dari pagi sampai malam hanya demi mendapatkan uang. Ada pula yang berpikir bahwa jika telah menjadi miliarder hidupnya akan bahagia. Namun benarkah uang merupakan sumber kebahagiaan? Bila benar uang merupakan sumber kebahagiaan, tentunya orang yang hanya punya sedikit uang akan memiliki lebih sedikit kebahagiaan. Meskipun demikian, saya menyaksikan orang-orang yang hanya punya sedikit uang sanggup tertawa lepas dengan bahagianya. Sebaliknya, orang-orang yang punya banyak uang justru lebih banyak keruwetan pikiran.

Mereka memikirkan saingan usaha mereka, bagaimana usaha mereka dapat terus berjalan, hutang-hutang mereka, dan masih ada seabrek masalah lainnya. Oleh karena itu, uang bukanlah sumber kebahagiaan. Kendati demikian, bukan berarti uang tidak perlu. Hanya saja kebahagiaan bukanlah semata-mata terletak pada uang. Lalu dari mana datangnya kebahagiaan? Sebenarnya kebahagiaan berasal dari diri sendiri. Dapatkah kita merasa puas dengan apa yang kita miliki? Jika tak pernah merasa puas, berapapun uang kita miliki tak akan kita merasa bahagia.

Sumber kebahagiaan kedua adalah memberikan manfaat bagi orang lain. Jika kita sanggup menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi sesama kita, bolehkan kita merasa bahagia. Hidup ini singkat. Waktu sehari bagaikan sekejap mata saja. Pagi hari dengan cepat berganti menjadi senja hati. Senja mengalir menjadi malam hari. Lalu tibalah esok hari. Tak terasa waktu setahun, dua tahun, sepuluh tahun, duapuluh tahun, limapuluh tahun berlalu. Apakah artinya semua itu, bila kita tak meninggalkan manfaat bagi orang lain? Apakah kita tak merasa bahagia bila sanggup membuat orang lain bahagia? Semoga renungan singkat ini dapat mendatangkan manfaat bagi kita semua.