TELAAH KRITIS TERHADAP KISAH GURU BIJAKSANA
.
Ivan Taniputera.
8 Oktober 2015
.
Saya akan melakukan telaah kritis pada kisah yang baru saja saya jumpai. Secara ringkas kisahnya adalah sebagai berikut:
.
Ada
dua orang murid, sebut saja si Pandai dan si Bodoh sedang berdebat. Si
Pandai mengatakan bahwa 6 x 3 adalah 18; sedangkan si Bodoh dengan yakin
menyatakan bahwa 6 x 3 adalah 15. Mereka terus menerus berdebat dan
bermaksud menyelesaikan perdebatan itu dengan bertanya pada guru yang
mereka segani.
.
Demikianlah
si Pandai dan si Bodoh lalu berkunjung ke tempat kediaman guru. Si
Pandai menyatakan bahwa jika dirinya salah maka ia bersedia menerima
hukuman 5 kali pukulan dengan rotan. Si Bodoh tidak mau kalah dan
menyatakan bahwa jika dirinya yang salah, maka ia bersedia dipenggal.
.
Tanpa
pikir panjang, guru menjatuhkan hukuman lima kali pukulan dengan rotan
pada si Pandai. Si Pandai tentu saja memprotes hal tersebut dan guru
menjawab bahwa hukuman itu bukan dikarenakan jawabannya, melainkan
akibat perdebatannya dengan orang bodoh yang tidak mengetahui bahwa 6 x 3
= 18. Guru menganggap bahwa perdebatan itu tidak berguna. Dengan
melakukan hal itu, ia telah mendidik agar si Pandai menjadi lebih arif
dan menyelamatkan nyawa si Bodoh.
.
Menurut
saya kisah di atas mengandung banyak kelemahan dan sama sekali tidak
dapat disebut sebagai kisah bijaksana. Guru itu sama sekali tidak
bijaksana.
.
Karena
kisah di atas menggunakan berhitung atau matematika sebagai analogi,
dimana matematika adalah ilmu pasti, maka secara aturan konvensional 6 x
3 hanya mempunyai satu jawaban, yakni 18. Enam kali tiga berarti 3 + 3
+ 3 + 3 + 3 + 3, yang tentu saja jawabannya sekali lagi adalah 18. Jika
guru itu paham matematika, maka ia tentu tahu hal tersebut. Secara
konvensional 6 x 3 tidak mungkin 15. Tugas seorang guru adalah
menyebarkan kebenaran, termasuk kebenaran matematika atau berhitung.
.
Menghukum
murid yang memberikan jawaban benar adalah seolah-olah menyalahkan
jawaban tersebut. Jadi guru itu seolah-olah mendukung jawaban yang
salah.
.
Jika
si Bodoh yang merasa bangga dengan pandangan salahnya tersebut (karena
dibenarkan oleh guru), lalu menyebarkan pandangannya tersebut, tentunya
akan sangat berbahaya. Ia bisa saja membujuk orang lain meyakini
pandangan salah itu dengan menyatakan bahwa guru bijaksana yang
dihormati banyak orang saja sudah mendukungnya. Dalam sejarah banyak
pandangan salah yang mengakibatkan penderitaan bagi banyak orang meraja
lela, karena tidak ada orang bertindak memotong pandangan salah tersebut
dari awalnya. Untungnya dalam kisah di atas yang dibicarakan adalah 6 x
3, bagaimana bila perdebatannya mengenai “membasmi orang yang beda
keyakinan dengan kita adalah benar atau salah”? Bagaimana jika si Bodoh
menyatakan bahwa “membasmi orang yang beda keyakinan dengan kita adalah
benar” sedangkan si Pandai menyatakan hal sebaliknya”? Akankah guru
masih menjatuhkan 5 kali pukulan pada si Pandai? Menurut pandangan saya,
kebenaran harus tetap didukung, entah menyenangkan atau tidak
menyenangkan.
.
Bagaimana
jika si Bodoh harus kehilangan kepala karena pandangan salahnya itu?
Biarkan saja orang bodoh binasa karena kebodohannya sendiri. Itu adalah
pilihannya sendiri. Namun guru dapat mengampuni si Bodoh dan
menasihatinya agar jangan mengambil tindakan berisiko yang bodoh lagi.
Dengan demikian, guru tetap mendukung kebenaran dan juga menyelamatkan
nyawa si Bodoh. Dengan menyelamatkan nyawanya, si Bodoh mungkin pada
lain kesempatan bisa lebih bijaksana, dan kelak namanya mungkin akan
berganti menjadi si Pandai II. Ia bukan lagi si Bodoh yang dulu.
.
Namun
dengan melakukan tindakan seperti itu, guru yang katanya bijaksana itu
justru tidak menyelamatkan si Bodoh. Si Bodoh akan tetap hidup dalam
kebodohannya. Guru itu telah bersikap apatis dan menurut saya tidak bisa
dikatakan bijaksana.
.
Sebagai
tambahan, kelemahan kisah ini adalah bagaimana jika si Pandai dan si
Bodoh sama-sama menghendaki hukuman dipenggal jika bersalah? Masihkah
guru akan menghukum si Pandai?
.
Selanjutnya,
tindakan si Pandai yang mau mempertahankan kebenaran di hadapan si
Bodoh bukan dianggap sebagai tindakan yang tidak berguna. Ia mau
melakukan sesuatu untuk mengoreksi pandangan salah. Kejahatan dapat
merajalela karena orang baik menolak melakukan sesuatu. Kejahatan
bersimaharaja karena orang baik bersikap apatis. Oscar Schindler pada
masa PD II berani berkata tidak pada kekejaman dan menyelamatkan ribuan
nyawa. Paul Rusesabagina berani berkata tidak pada kekejaman dan
menyelamatkan nyawa kaum Hutu yang terancam pembantaian keji.
.
Jadi
upaya si Pandai itu menurut saya sudah benar dan tidak dapat dikatakan
sebagai perdebatan tidak bermanfaat. Ia sudah berupaya mengoreksi
ketidak-benaran dan tidak bersikap apatis. Bisa saja ia bersikap masa
bodoh dan membiarkan si Bodoh dengan pandangan salahnya. Namun itu tidak
dilakukannya. Lalu atas dasar apa, guru layak memberikan hukuman 5
pukulan? Jika semua orang menganut pemikiran guru tersebut, maka tidak
ada orang yang akan berani mengungkapkan kebenaran. Mereka semua
khawatir mendapatkan “lima pukulan dengan rotan.” Semua orang akan
menjadi apatis.
.
Sebenarnya
ada alternatif yang lebih bijaksana. Bisa saja ditanyakan pada si
Bodoh, apakah menurutnya definisi operasi hitung “x” itu. Jikalau
menurutnya, “x” adalah “kurangkan satu dan kemudian kalikan,” maka
adalah benar bahwa 6 x 3 = 15. Dengan demikian, menurut si Bodoh, 6 x 3
pengertiannya adalah (6-1) lalu kalikan 3, maka hasilnya adalah 15.
Meskipun ini “benar,” namun tidak sesuai dengan kelaziman. Mungkin si
Bodoh punya konsep sendiri mengenai operasi hitung serta
lambang-lambangnya. Jika definisinya sudah saling dipahami maka berbagai
permasalahan akan jelas. Kendati demikian, si Bodoh juga seyogianya
belajar operasi hitung yang lazim, yakni operasi hitung yang dianut oleh
banyak orang berdasarkan perjanjian (konvensi). Kalau dia enggan
menerima kelaziman, maka tentu sulit baginya hidup di tengah masyarakat
(yang menganut kelaziman tersebut). Tetapi tentu saja itu adalah pilihan
hidupnya sendiri.
.
Demikian
kritikan saya terhadap kisah di atas, yang menurut saya tidak berisikan
kebijaksanaan apa pun. Pandangan yang diwakili kisah di atas justru
menjerumuskan seseorang pada apatisme. Tidak heran jika
diktaktor-diktaktor bengis seperti Hitler, Stalin, Polpot bisa naik ke
panggung negara, karena orang-orang baik secara tidak langsung mendukung
mereka melalui berdiam diri.
.
Saya
kira jika guru pada kisah di atas membaca artikel ini, bila ia
benar-benar bijaksana maka tiada ia akan tersinggung sedikit pun. Oleh
karenanya, jangan ada yang tersinggung membaca artikel ini. Guru
bijaksana saja tidak tersinggung, lalu mengapa Anda yang tersinggung?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar