RENUNGAN BUAH CERI DAN PUDING: SUATU TELAAH FILSAFAT KULINER.
.
Ivan Taniputera.
18 Juni 2016
.
.
Hari
ini saya akan mengajak para pembaca sekalian merenungkan mengenai buah
ceri dan puding yang barangkali dapat mendatangkan manfaat dalam
kehidupan ini. Jikalau kita mencoba memandang dunia dari sisi buah ceri
sebagaimana tampak pada gambar di atas, maka wawasan buah ceri itu hanya
akan sebatas puding dan pinggiran gelas. Apabila buah ceri tidak
bersedia meluaskan wawasannya, maka hanya sebatas itu sajalah jangkauan
pandangannya. Ia hanya akan dibatasi oleh puding dan tepian gelas saja.
Tetapi jika ia bersedia memandang lebih jauh dari semua itu, maka
wawasannya juga akan luas.
.
Begitu
pula orang yang tidak bersedia meluaskan jangkauan pandangannya akan
mempunyai wawasan sempit dan terbatas. Wawasan semacam itu hanya akan
mengakibatkan keterbatasan bagi diri sendiri dan kegagalan memahami
segala sesuatu dari sudut pandang yang lebih besar.
.
Bagi
ceri tersebut segala sesuatu hanya dinilai berdasarkan puding dan
tepian gelas. Ia mungkin tidak mengetahui bahwa masih banyak makanan
pencuci mulut lainnya, seperti es krim, es campur, nagasari, klepon, dan
lain sebagainya. Ia akan menganggap bahwa satu-satunya yang ada dan
benar adalah puding dan tepian gelas selaku pembatas cakrawala
pemahamannya. Pandangan sempit bisa mengakibatkan fanatisme membuta yang
tidak jarang menimbulkan bahaya besar bagi dunia ini.
.
Salah
satu perwujudannya adalah nasionalisme sempit dan xenofobia, yang telah
memicu perang-perang besar; begitu pula dengan penganiayaan karena
agama. Agama yang seharusnya mendatangkan perdamaian dan kebahagiaan
bagi umat manusia justru mengakibatkan pertumpahan darah. Semuanya
diakibatkan oleh ketidak mampuan meluaskan wawasan kita.
.
Misalkan
ada ceri lain yang telah melanglang dapur dan seluruh rumah makan
tersebut datang serta masuk ke dalam gelas tersebut, lalu berkata pada
ceri pertama bahwa masih terdapat hal-hal selain puding dan tepian
gelas, maka mungkin sekali ceri pertama tadi akan melabeli ceri kedua
sebagai sesat. Hal-hal di luar puding dan tepian gelas dianggap sebagai
tidak masuk akal oleh ceri pertama. Ceri kedua tadi pastilah sesat atau
gila karena mengatakan sesuatu yang tidak ada dari sudut pandang ceri
pertama. Jika ceri pertama cukup beruntung, maka ia akan bersedia dan
berani keluar dari gelas serta menjelajah sendiri seluruh dapur dan
rumah makan, bila perlu seluruh dunia beserta jagad raya, barulah dengan
demikian ia akan memahami keterbatasan pandangannya selama ini.
.
Namun
berapa banyak umat manusia yang seberuntung dan seberani ceri pertama
tadi? Seberapa banyak di antara umat manusia berani keluar dari
kungkungan batasan cakrawala pemahamannya selama ini? Marilah kita
renungkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar