Rabu, 16 Desember 2015

LOBSTER BUAT KAMI

LOBSTER BUAT KAMI
.
Ivan Taniputera.

16 Desember 2015
.

Inilah kami si tuan-tuan petinggi mulia
Dari negeri antah berantah
Nun jauh di sana
Sudah pasti pundi-pundi kami harus berat
Dari mana isinya entahlah
Apa peduli kami?
Yang penting harus beranak pinak
Orang-orang mulia nan tinggi seperti kami
Makanku dan kawan-kawanku harus enak
Santap pagi siang malam harus berkelas
Ya makanku dan kawan-kawanku harus mewah
Pantang kami menyantap sarapan kelas bawah
Itu hanya buatmu
Kegemaran kami adalah lobster, lobster, dan lobster
Tak apa kau bilang kami monster
Sekali lagi apa peduli kami?
Yang penting kami makan lobster
Tiap hari kami mau makan lobster
Tapi jangan lupa kau yang bayar
Kau merasa marah
Kau merasa terhina
Mukamu merah?
Jantungmu berdebar?
Salahmu sendiri
Kenapa kau dulu pilih kami
Jadi para petinggimu

Rabu, 11 November 2015

KEPUL KEPUL

KEPUL KEPUL
.
Ivan Taniputera. 
27 Oktober 2015
.



.
Pagi kala embun masih berkumpul 
Kakek nenek tua duduk terkantuk-kantuk 
Asap berkepul-kepul 
Astaga mereka terbatuk-batuk
Sudah dari berminggu-minggu 
Bersimaharaja kabut asap 
Hilangnya ditunggu-tunggu 
Tapi selalu jawabnya A.S.A.P 
(Catatan: A.S.A.P = As Soon As Possible)
Asap bikin sesak nafas 
Dari balita sampai kakek nenek 
Dari bawah sampai atas 
Semua termehek-mehek
Membakar tiada tanggung jawab 
Asap tebal bergumpal-gumpal 
Mata para warga jadi sembab 
Kalang kabut berbual-bual
Hutan permai dibakar api 
Korban asap meratapi 
Paru-parunya serasa terbakar panas 
Kulit terasa tergesek nanas
Siapakah yang menyesali 
Siapakah yang bersalah 
Tentu sudah pasti sembunyi nyali 
Daripada ditimpa kalah.
Asap-asap sana pergi 
Kami tak mau engkau 
Jangan kau datang lagi 
Di masa datang tidak terulang lalu
 
Dipersembahkan untuk para korban asap. Mari kita berdoa agar bencana asap segera berlalu.

Selasa, 10 November 2015

PAHLAWAN ITU

PAHLAWAN ITU
Ivan Taniputera. 
10 November 2015
.


Ada banyak pahlawan 
Tapi PAHLAWAN itu 
Yang berjuang tiada pamrih 
Yang berjuang tiada embel-embel 
Berjuang tanpa ditunggangi 
Murni dari hati nurani 
Hanya demi tujuan mulia 
Memang ada banyak pahlawan 
Tapi PAHLAWAN itu 
Berjuang tiada harap pahala 
Berjuang tiada harap kedudukan 
Apalagi harta tahta wanita 
PAHLAWAN bukan hanya bersorak-sorai 
Berorasi tapi sudah basi 
Ibarat udang di balik bakso 
PAHLAWAN itu sungguh berkorban 
Tiada harap nama harum 
Apalagi hanya emas seujung jarum 
PAHLAWAN mungkin nama terlupakan sudah 
Namun darah yang tercurah 
Telah turut mengukir sejarah 
Dikekalkan oleh arus waktu 
PAHLAWAN mungkin tiada dihargai 
Tujuan mereka bukan itu akan tetapi 
Hanya demi kau dan aku 
Merasakan harkat kemanusiaan dan kemerdekaan
.
SELAMAT HARI PAHLAWAN 10 NOVEMBER 2015

Sabtu, 17 Oktober 2015

HAL TERBAIK BAGI KITA MUNGKIN JUSTRU YANG TIDAK MENYENANGKAN

HAL TERBAIK BAGI KITA MUNGKIN JUSTRU YANG TIDAK MENYENANGKAN
.
Ivan Taniputera
17 Oktober 2015
.



.
Pada kesempatan kali ini, saya akan membagikan sesuatu yang barangkali bermanfaat bagi kita semua. Artikel kali ini ditulis berdasarkan pengalaman nyata seorang sahabat yang diceritakan pada saya. Untuk melindungi privasi, maka nama-nama tidak akan disebutkan dan ceritanya sedikit diubah. Namun intisarinya tetap sama.
.
Kebanyakan di antara kita merasa kesal atau marah jika mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan atau tidak kita harapkan. Tetapi apakah kita pernah menyadari bahwa hal tidak menyenangkan atau tidak diharapkan tersebut justru akan mendatangkan kebaikan pada kita?
.
Suatu kali seorang sahabat diundang menghadiri pesta pernikahan kenalannya. Sewaktu sedang duduk menikmati hidangan, tiba-tiba tiang penyangga tenda jatuh dan menimpa orang yang duduk tepat di sebelahnya hingga luka parah.
.
Sampai di sini, kita akan melakukan kilas balik terhadap peristiwa yang terjadi sebelumnya. Biasanya saat menghadiri undangan pesta, maka kawan saya akan ditemani oleh suami atau anaknya. Namun hari itu, suami sahabat saya tersebut mendapatkan tugas kantor mendadak, sehingga batal menemaninya ke pesta. Meski merasa kecewa, kini harapan beralih pada anaknya. Meskipun demikian, saat menjelang keberangkatan ke pesta tiba-tiba teman sang anak menelepon dan mengajaknya jalan-jalan ke mall. Ternyata sang anak lebih memilih pergi bersama temannya, sehingga batal menemani ibunya ke pesta.
.
Akhirnya dengan disertai perasaan sedih, marah, dan kecewa, sahabat saya berangkat sendiri ke pesta. Kini kembali ke saat pesta tersebut. Sahabat saya lantas merenungkan bahwa jika ia berangkat bersama suami atau anaknya, maka yang duduk di sampingnya dan tertimpa tiang itu kemungkinan adalah suami, anak, atau bahkan dirinya sendiri. Dengan mengalami rangkaian peristiwa tidak menyenangkan itu, justru diri dan keluarganya selamat.
.
Berdasarkan kisah di atas, marilah kita merenungkan apakah kita perlu merasa marah dan kesal berkepanjangan tatkala sesuatu tidak terjadi sesuai kehendak kita?
.
Artikel menarik lainnya mengenai ramalan, Astrologi, Fengshui, Bazi, Ziweidoushu, metafisika, dan lain-lain, silakan kunjungi:



Kamis, 08 Oktober 2015

TELAAH KRITIS TERHADAP KISAH GURU BIJAKSANA

TELAAH KRITIS TERHADAP KISAH GURU BIJAKSANA
.
Ivan Taniputera.
8 Oktober 2015
.


Saya akan melakukan telaah kritis pada kisah yang baru saja saya jumpai. Secara ringkas kisahnya adalah sebagai berikut:
.
Ada dua orang murid, sebut saja si Pandai dan si Bodoh sedang berdebat. Si Pandai mengatakan bahwa 6 x 3 adalah 18; sedangkan si Bodoh dengan yakin menyatakan bahwa 6 x 3 adalah 15. Mereka terus menerus berdebat dan bermaksud menyelesaikan perdebatan itu dengan bertanya pada guru yang mereka segani. 
.
Demikianlah si Pandai dan si Bodoh lalu berkunjung ke tempat kediaman guru. Si Pandai menyatakan bahwa jika dirinya salah maka ia bersedia menerima hukuman 5 kali pukulan dengan rotan. Si Bodoh tidak mau kalah dan menyatakan bahwa jika dirinya yang salah, maka ia bersedia dipenggal.
.
Tanpa pikir panjang, guru menjatuhkan hukuman lima kali pukulan dengan rotan pada si Pandai. Si Pandai tentu saja memprotes hal tersebut dan guru menjawab bahwa hukuman itu bukan dikarenakan jawabannya, melainkan akibat perdebatannya dengan orang bodoh yang tidak mengetahui bahwa 6 x 3 = 18. Guru menganggap bahwa perdebatan itu tidak berguna. Dengan melakukan hal itu, ia telah mendidik agar si Pandai menjadi lebih arif dan menyelamatkan nyawa si Bodoh.
.
Menurut saya kisah di atas mengandung banyak kelemahan dan sama sekali tidak dapat disebut sebagai kisah bijaksana. Guru itu sama sekali tidak bijaksana.
.
Karena kisah di atas menggunakan berhitung atau matematika sebagai analogi, dimana matematika adalah ilmu pasti, maka secara aturan konvensional 6 x 3 hanya mempunyai satu jawaban, yakni 18. Enam kali tiga berarti 3 + 3 + 3 + 3 + 3 + 3, yang tentu saja jawabannya sekali lagi adalah 18. Jika guru itu paham matematika, maka ia tentu tahu hal tersebut. Secara konvensional 6 x 3 tidak mungkin 15. Tugas seorang guru adalah menyebarkan kebenaran, termasuk kebenaran matematika atau berhitung.
.
Menghukum murid yang memberikan jawaban benar adalah seolah-olah menyalahkan jawaban tersebut. Jadi guru itu seolah-olah mendukung jawaban yang salah. 
.
Jika si Bodoh yang merasa bangga dengan pandangan salahnya tersebut (karena dibenarkan oleh guru), lalu menyebarkan pandangannya tersebut, tentunya akan sangat berbahaya. Ia bisa saja membujuk orang lain meyakini pandangan salah itu dengan menyatakan bahwa guru bijaksana yang dihormati banyak orang saja sudah mendukungnya. Dalam sejarah banyak pandangan salah yang mengakibatkan penderitaan bagi banyak orang meraja lela, karena tidak ada orang bertindak memotong pandangan salah tersebut dari awalnya. Untungnya dalam kisah di atas yang dibicarakan adalah 6 x 3, bagaimana bila perdebatannya mengenai “membasmi orang yang beda keyakinan dengan kita adalah benar atau salah”? Bagaimana jika si Bodoh menyatakan bahwa “membasmi orang yang beda keyakinan dengan kita adalah benar” sedangkan si Pandai menyatakan hal sebaliknya”? Akankah guru masih menjatuhkan 5 kali pukulan pada si Pandai? Menurut pandangan saya, kebenaran harus tetap didukung, entah menyenangkan atau tidak menyenangkan. 
.
Bagaimana jika si Bodoh harus kehilangan kepala karena pandangan salahnya itu? Biarkan saja orang bodoh binasa karena kebodohannya sendiri. Itu adalah pilihannya sendiri. Namun guru dapat mengampuni si Bodoh dan menasihatinya agar jangan mengambil tindakan berisiko yang bodoh lagi. Dengan demikian, guru tetap mendukung kebenaran dan juga menyelamatkan nyawa si Bodoh. Dengan menyelamatkan nyawanya, si Bodoh mungkin pada lain kesempatan bisa lebih bijaksana, dan kelak namanya mungkin akan berganti menjadi si Pandai II. Ia bukan lagi si Bodoh yang dulu.
.
Namun dengan melakukan tindakan seperti itu, guru yang katanya bijaksana itu justru tidak menyelamatkan si Bodoh. Si Bodoh akan tetap hidup dalam kebodohannya. Guru itu telah bersikap apatis dan menurut saya tidak bisa dikatakan bijaksana. 
.
Sebagai tambahan, kelemahan kisah ini adalah bagaimana jika si Pandai dan si Bodoh sama-sama menghendaki hukuman dipenggal jika bersalah? Masihkah guru akan menghukum si Pandai?
.
Selanjutnya, tindakan si Pandai yang mau mempertahankan kebenaran di hadapan si Bodoh bukan dianggap sebagai tindakan yang tidak berguna. Ia mau melakukan sesuatu untuk mengoreksi pandangan salah. Kejahatan dapat merajalela karena orang baik menolak melakukan sesuatu. Kejahatan bersimaharaja karena orang baik bersikap apatis. Oscar Schindler pada masa PD II berani berkata tidak pada kekejaman dan menyelamatkan ribuan nyawa. Paul Rusesabagina berani berkata tidak pada kekejaman dan menyelamatkan nyawa kaum Hutu yang terancam pembantaian keji. 
.
Jadi upaya si Pandai itu menurut saya sudah benar dan tidak dapat dikatakan sebagai perdebatan tidak bermanfaat. Ia sudah berupaya mengoreksi ketidak-benaran dan tidak bersikap apatis. Bisa saja ia bersikap masa bodoh dan membiarkan si Bodoh dengan pandangan salahnya. Namun itu tidak dilakukannya. Lalu atas dasar apa, guru layak memberikan hukuman 5 pukulan? Jika semua orang menganut pemikiran guru tersebut, maka tidak ada orang yang akan berani mengungkapkan kebenaran. Mereka semua khawatir mendapatkan “lima pukulan dengan rotan.” Semua orang akan menjadi apatis.
.
Sebenarnya ada alternatif yang lebih bijaksana. Bisa saja ditanyakan pada si Bodoh, apakah menurutnya definisi operasi hitung “x” itu. Jikalau menurutnya, “x” adalah “kurangkan satu dan kemudian kalikan,” maka adalah benar bahwa 6 x 3 = 15. Dengan demikian, menurut si Bodoh, 6 x 3 pengertiannya adalah (6-1) lalu kalikan 3, maka hasilnya adalah 15. Meskipun ini “benar,” namun tidak sesuai dengan kelaziman. Mungkin si Bodoh punya konsep sendiri mengenai operasi hitung serta lambang-lambangnya. Jika definisinya sudah saling dipahami maka berbagai permasalahan akan jelas. Kendati demikian, si Bodoh juga seyogianya belajar operasi hitung yang lazim, yakni operasi hitung yang dianut oleh banyak orang berdasarkan perjanjian (konvensi). Kalau dia enggan menerima kelaziman, maka tentu sulit baginya hidup di tengah masyarakat (yang menganut kelaziman tersebut). Tetapi tentu saja itu adalah pilihan hidupnya sendiri.
.
Demikian kritikan saya terhadap kisah di atas, yang menurut saya tidak berisikan kebijaksanaan apa pun. Pandangan yang diwakili kisah di atas justru menjerumuskan seseorang pada apatisme. Tidak heran jika diktaktor-diktaktor bengis seperti Hitler, Stalin, Polpot bisa naik ke panggung negara, karena orang-orang baik secara tidak langsung mendukung mereka melalui berdiam diri.
.
Saya kira jika guru pada kisah di atas membaca artikel ini, bila ia benar-benar bijaksana maka tiada ia akan tersinggung sedikit pun. Oleh karenanya, jangan ada yang tersinggung membaca artikel ini. Guru bijaksana saja tidak tersinggung, lalu mengapa Anda yang tersinggung?

Minggu, 30 Agustus 2015

RASISME DI JERMAN: SUATU PERBANDINGAN

RASISME DI JERMAN: SUATU PERBANDINGAN

Ivan Taniputera
29 Agustus 2015


Belakangan ini kasus rasisme mendera negara kita. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini saya berniat melakukan studi banding mengenai bagaimana rasisme di Jerman. Sebenarnya ini hanya penyusunan ulang data-data yang diambil dari wikipedia saja. Oleh karena itu, para pembaca yang ingin mengetahui lebih banyak dapat melakukan pemeriksaan ulang dari buku atau literatur yang kompeten. Saya mempunyai berbagai buku tentang hal tersebut, hanya saja belum ada waktu memeriksanya. Sementara ini, sumber saya batasi dari internet saja, khususnya wikipedia. Saya mengupayakan sumber-sumber diambil dari artikel berbahasa Inggris, walaupun terkadang sumber berbahasa Jerman lebih lengkap. Mengenai film-film atau video dari youtube saya terpaksa mengambil yang berbahasa Jerman, karena menurut penilaian saya hanya itu sumber terbaik mengenai topik ini.

Begitu mendengar kata Jerman, maka yang terlintas di pikiran kita adalah sebuah negara maju yang terkenal akan teknologi permesinannya. Negara ini terkenal akan industri otomotifnya. Semua orang pasti akan langsung teringat pada Jerman, begitu melihat mobil dengan lambang lingkaran dengan bintang bersudut tiga di dalamnya. Jerman juga terkenal akan pendidikannya. Banyak orang Indonesia yang melanjutkan studi di sana. Meskipun demikian, Jerman sendiri tetap mempunyai penyakit akut yang telah berjangkit semenjak lama, yakni rasisme. Pada awalnya rasisme itu ditujukan pada orang-orang Yahudi yang menetap di Jerman. Hal ini dapatlah dipahami mengingat bahwa satu-satunya elemen yang dianggap asing waktu itu adalah orang Yahudi. Salah satu alasan yang dipakai untuk membenci kaum Yahudi adalah keagamaan, yakni mereka dianggap telah menyalibkan mesias menurut agama Kristen. Kebencian yang khusus ditujukan pada orang Yahudi itu disebut antisemitisme. Mungkin pada awalnya, sikap kebencian itu tidak bersikap rasial, karena konsep ras belum begitu berkembang pada masa itu.  Mereka mungkin tidak disukai karena dipandang sebagai "elemen" asing di tengah-tengah masyarakat Eropa, disamping penganut suatu keyakinan yang berbeda.

Sebagai tambahan, konsep tentang ras saat itu belum berkembang dan masih terpengaruh pandangan tradisional. Konsep mengenai ras yang dianut oleh orang Eropa baru berkembang setelah Abad Penjelajahan dan timbulnya kolonialisme, yakni setelah mereka menjelajahi bumi ini dan berjumpa dengan banyak bangsa (1).

Kebencian terhadap orang Yahudi selama abad pertengahan itu seringkali meledak dalam bentuk penganiayaan (pogrom). Berikut ini adalah pogrom-pogrom yang terkenal dalam sejarah.

  • Penganiayaan terhadap orang Yahudi pada era Perang Salib Pertama (1096-1349). Pembantaian dilakukan pada kaum Yahudi di Trier, Mainz, Worm, dan Koeln.
  • Saat meletusnya wabah sampar yang dikenal sebagai Maut Hitam, orang-orang Yahudi dituduh telah meracuni sumur dan banyak di antara mereka dikejar-kejar serta dibunuh. (2)

Sebagai catatan, sebenarnya penganiayaan terhadap orang Yahudi tidak hanya terjadi di Jerman saja melainkan juga di berbagai bagian Eropa lainnya, seperti Kekaisaran Rusia. Tetapi karena pembahasan kita adalah Jerman, maka cukup disebutkan saja mengenai peristiwa penganiayaan di Jerman.

Penganiayaan terhadap orang Yahudi itu berpuncak pada bangkitnya Nazi. Penganiayaan tersebut menjadi politik resmi Nazi semenjak tahun 1933. Yahudi internasional melakukan pembalasan pada tanggal 1 April 1933 dengan memboikot seluruh barang buatan Jerman. Sebagai balasannya, pemerintah Nazi mengumumkan boikot terhadap seluruh toko, dokter, dan pengacara Yahudi. Kedudukan kaum Yahudi semakin dipinggirkan di tengah masyarakat Jerman. Mereka dilarang menjadi pegawai pemerintah. (3)

Untuk menjaga kemurnian ras Jerman, maka dikeluarkanlah apa yang dinamakan Undang-undang Kemurnian Ras Nuremberg pada tanggal 15 September 1935. Undang-undang ini melarang pernikahan antara orang Yahudi dan Jerman. (4)

Penderitaan kaum Yahudi makin berpuncak dengan didirikannya kam-kam konsentrasi (Inggris: concentration camp, Jerman: Konzentrationslager). Mereka diharuskan melakukan kerja paksa dengan kondisi yang sangat mengenaskan, menjadi sasaran percobaan medis kejam oleh orang-orang seperti Mengele, dibunuh dalam kamar gas dan lain sebagainya (5).

Kita tidak akan membahas lebih jauh hal ini. Rezim Nazi dikalahkan pada tahun 1945 dan Jerman mengalami kehancuran total. Sejarah ini sudah banyak kita ketahui bersama, sehingga tidak perlu dibahas terlalu jauh. Sebagai tambahan, tidak seluruh orang Jerman menyetujui politik rasisme Nazi ini. Banyak orang Jerman yang menentang rezim Nazi dan menyelamatkan orang Yahudi. Mereka adalah pahlawan-pahlawan kemanusiaan yang berani berkata tidak pada kejahatan. Mereka antara lain adalah Oscar Schindler, Gustav Schröder, Wilm Hosenfeld, Heinz Drossel, dan lain sebagainya. Dengan demikian, kita tidak bisa melakukan generalisasi bahwa semua orang Jerman adalah antisemitik.

Setelah Jerman dibangun kembali dari kehancuran pascaPerang Dunia II, rasisme belum menghilang, meskipun undang-undang Jerman melarangnya dengan tegas. Saya akan kemukakan terlebih dahulu pengalaman mahasiswa Indonesia, dimana mereka mengalami serangan oleh kaum Neonazi. Perihal tersebut dapat dibaca di:


Jadi pada masa Jerman modern, rasisme kini ditujukan pada seluruh orang asing (Ausländer), tidak peduli apakah mereka Yahudi atau bukan. Mungkin karena kini elemen-elemen asing itu bukan hanya orang Yahudi saja, maka kebencian ditujukan pada seluruh orang asing atau elemen yang mereka anggap asing.

Jerman pascaPerang Dunia II, dapat menjadi negara yang makmur dan mengundang kaum pendatang atau imigran dari luar, termasuk Indonesia. Sebagian orang Jerman terutama dari partai kanan yang menerapkan nasionalisme sempit memandang mereka sebagai ancaman bagi lapangan pekerjaan mereka. Sebagai informasi, pada era tahun 1970-an untuk meningkatkan industri mereka, orang Jerman banyak mendatangkan orang-orang Turki sebagai pekerja. Dengan demikian, jumlah orang Turki di Jerman menjadi makin signifikan. Hal ini menimbulkan gesekan dengan kaum Neonazi.

Pada tanggal 29 Mei 1993, terjadi pembakaran terhadap rumah orang Turki di Sollingen. Lima orang menjadi korban. Pemerintah Jerman melakukan penanganan serius terhadap hal ini. Para korban yang masih hidup mendapatkan santunan 270.000 DM. Presiden Jerman waktu itu  Richard von Weizsäcker menghadiri  dan berpidato dalam acara peringatan pembakaran di Sollingen tersebut. Para pelaku dijatuhi hukuman 10-15 tahun (6).

Secara umum rasisme tidak pernah hilang dari Jerman. Berikut ini adalah film menarik mengenai seorang peneliti berkebangsaan Jerman bernama Günter Wallraff yang menyamar menjadi orang kulit hitam. Ia mendapatkan penolakan dan diskriminasi saat hendak menyewa apartemen atau bergabung dengan klub pencinta anjing. Mereka tidak menyadari bahwa orang kulit hitam di hadapan mereka sebenarnya adalah orang kulit putih. Meski Anda tidak bisa berbahasa Jerman, tetapi tetap menarik menyaksikan film ini. Saksikan saja gambarnya. Pada menit-menit pertama, Anda akan melihat bahwa Günter Wallraff dirias menjadi orang kulit hitam, yang sangat jauh berbeda dengan wajah aslinya. Jadi saksikan saja film ini ini:


Meski PD II telah berlalu lebih dari 70 tahun, kebencian terhadap orang Yahudi masih saja berlangsung, sebagaimana yang dapat kita saksikan di https://www.youtube.com/watch?v=cnKXVUaQLSA. Film ini dibuka dengan pemuda-pemuda Jerman yang meneriakkan "Judenschweine" atau "Babi Yahudi." Udo Pastörs, politikus dari partai NPD (partai ekstrim kanan di Jerman) sering mengemukakan sebutan-sebutan anti Yahudi, walaupun dalam wawancara ia menyangkal sebagai antisemistik. Ia menyebut Republik Federal Jerman (Bundesrepublik) sebagai "Judenrepublik" (Republik Yahudi) dan orang-orang Turki sebagai "Samenkanonen" (meriam sperma) (7). Atas ucapannya itu, Udo Pastors harus menghadapi sidang di pengadilan dan diharuskan membayar denda.

Di Jerman, simbol-simbol Nazi lama, seperti swastika dan lain sebagainya adalah terlarang. Kendati demikian, kuburan-kuburan Yahudi  dan sinagoga masih menjadi sasaran vandalisme oleh Neonazi, yakni dengan coretan gambar swastika.

Diskriminasi di Jerman juga berlangsung dalam hal lamaran pekerjaan. Pelamar yang mempunyai prestasi dan nilai ijazah sama, tetapi mempunyai nama asing, lebih jarang dipanggil untuk wawancara. Gagasan pendirian mesjid di Jerman juga banyak mendapatkan tentangan dari kaum ekstrim kanan.

Terlepas dari masih adanya rasisme di Jerman, pemerintah di sana nampak lebih serius dalam menegakkan hukum. Mereka memandang bahwa rasisme dan kebencian terhadap orang asing sebagai noda yang memalukan. Suatu noda yang seharusnya tidak ada lagi dalam masyarakat modern yang beradab.

SUMBER:

(5) Informasi lebih jauh tentang kam konsentrasi, lihat di http://www.ushmm.org/wlc/en/article.php?ModuleId=10005144

Senin, 24 Agustus 2015

RENUNGAN HARI PROKLAMASI KEMERDEKAAN: KEDAULATAN BAHASA

RENUNGAN HARI PROKLAMASI KEMERDEKAAN: KEDAULATAN BAHASA


Ivan Taniputera
16 Agustus 2015



Besok pagi negara kita akan memasuki usianya yang ke-70. Telah banyak bahaya, tantangan, dan hambatan yang dialami negara kita dalam kurun waktu tersebut. Namun semuanya dapat diatasi dengan baik, sehingga negara kita tetap bertahan hingga saat ini. Meskipun kemerdekaan sebagai negara berdaulat telah diakui baik secara de yure maupun de facto oleh negara lain, tetapi kita masih belum terbebas dari masalah korupsi, kemiskinan, dan masalah kemasyarakatan lainnya. Bahkan fanatisme keagamaan dan kesukuan masih merupakan ancaman nyata bagi negara kita. Kendati demikian, pada renungan kali ini, saya ingin lebih banyak menitik-beratkan pada hal yang jarang dibicarakan, yakni bahasa.

Berdasarkan pasal 36 UUD 45, maka bahasa resmi negara kita adalah bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia ini merupakan salah satu aspek yang menjadi penanda bagi kedaulatan bangsa dan negara. Sebelumnya, saya ingin menceritakan pengalaman saya selama menuntut ilmu di Jerman. Jikalau kita ingin belajar dan bekerja di Jerman, maka kita harus menguasai bahasa Jerman. Tentu saja penguasaan bahasa Jerman itu harus dibuktikan melalui sebuah ijazah.

Kini kita kembali pada topik renungan kita. Pertanyaannya adalah sudahkah kita berdaulat secara bahasa? Saya sering meyaksikan para pekerja asing atau ekspatriat di negara kita yang tidak menguasai bahasa Indonesia. Mungkin juga mereka menguasai bahasa Indonesia, tetapi penguasannya hanya pas-pasan. Ini adalah sesuatu yang memprihatinkan. Apabila mereka bekerja atau berdomisili di Indonesia dalam waktu lama (misalnya lebih dari tiga bulan), maka seyogianya mereka belajar bahasa Indonesia hingga sanggup berkomunikasi dengan baik menggunakan bahasa tersebut, baik lisan maupun tulisan.

Dalam mengeluarkan izin kerja bagi para pekerja atau ekspatriat asing, maka dapat ditambahkan satu kriteria lagi, yakni bukti penguasaan bahasa Indonesia. Tentu saja, pemerintah perlu segera menyusun standar penguasaan bahasa Indonesia bagi orang asing. Selanjutnya lembaga-lembaga pengajaran bahasa Indonesia (seperti Goethe Institute bagi bahasa Jerman) perlu didirikan sesuai kebutuhan. Komunikasi dengan para pekerja asing harus menggunakan bahasa Indonesia. Mereka bekerja di Indonesia, maka sudah sepantasnya mereka belajar bahasa Indonesia. Adalah tidak masuk akal, jika kita berkomunikasi dengan mereka menggunakan bahasa selain bahasa Indonesia. Ini seharusnya adalah sesuatu yang wajar di semua negara. Jika saya bekerja di Jerman, maka saya tidak bisa memaksa orang Jerman berbicara dengan saya menggunakan bahasa Indonesia. Kalau saya bekerja di Jerman, maka saya harus menggunakan bahasa Jerman. Adanya keharusan bagi pekerja asing menguasai bahasa Indonesia adalah wujud penegakan kedaulatan bahasa di negara kita. Jikalau mereka tidak bersedia belajar bahasa Indonesia, maka itu adalah wujud arogansi atau kesombongan mereka.

Namun pada sisi lain, bukan berarti kita anti dengan bahasa asing. Saya sendiri menguasai beberapa bahasa. Penguasaan bahasa asing sangat perlu dalam menguasai berbagai bidang pengetahuan serta alih teknologi. Kendati demikian, kita tetap harus menjadikan bahasa Indonesia sebagai tuan di negara kita sendiri. Mari kita tegakkan kedaulatan bahasa di negara kita yang telah berusia 70 tahun ini.

Merdeka!!!