Sabtu, 09 Juli 2011

Menyelami Kemanunggalan Siwa Buddha

Menyelami Kemanunggalan Siwa Buddha

Ivan Taniputera
9 Juli 2011

Seorang umat Buddha yang fanatik mencela seorang guru agama Buddha yang meletakkan gambar Shri Satya Sai Baba di altarnya. Lainnya lagi mencela seorang guru agama Buddha yang memasang gambar suciwan Dao. Apakah umat yang fanatik ini benar-benar memahami Dharma? Beruntunglah nenek moyang kita pernah menulis kitab Sutasoma, yang di dalamnya terpampang dengan jelas kalimat yang kelak menjadi semboyan negara kita tercinta. Apakah kalimat itu? Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa. Meskipun telah membaca naskah Sutasoma berulang kali, jantung saya selalu tergetar saat membaca kalimat itu. Maknanya sungguh mendalam dan luar biasa.

Pada zaman itu, di negeri kita terdapat dua agama besar, yakni Shivaisme dan Buddhisme. Pemuka agama Shivaisme disebut dharmadhyaksa ring Kasaiwan, sedangkan pemuka agama Buddha dikenal sebagai dharmadhyaksa ring Kasogatan. Di masa itu tidak pernah terjadi gontok-gontokan atau peperangan antara kedua agama. Karena mereka memahami bahwa hakikat keduanya adalah SATU, yakni merealisasi YANG TUNGGAL tersebut.

Apabila kita merealisasi cita rasa YANG TUNGGAL itu, segenap jalan, konsep, dan metoda akan melebur dengan sendiri. Di dalam YANG TUNGGAL, tiada lagi dualisme, konsep dan pembeda-bedaan. Tiada lagi label. Tiada lagi Siwa. Tiada lagi Buddha. Bahkan tiada nama yang dapat diberikan. Tiada bentuk. Tiada rupa. Tiada suara.

Jika Anda belum memasuki dan masih jauh dari YANG TUNGGAL, bentuk dan konsep masih Anda pusingkan. Anda masih pusing dengan apa yang terpampang pada altar guru-guru Buddhis tersebut. Pikiran Anda masih terpaku pada "bentuk" alias "wujud." Padahal YANG TUNGGAL itu bebas "wujud." Itulah sebabnya Siwa Buddha adalah Tunggal hakikatnya.

Di dalam Atharvaveda disebutkan bahwa "segala sesuatu manunggal denganNya." tiada lagi pembeda-bedaan. Pikiran tercemar manusialah yang masih melakukan pembeda-bedaan. Rgveda menyebutkan, "Orang bijaksana menyebutNya dengan banyak nama." Siwa, Buddha, Dao, dan lain-lain hanyalah sekedar nama-nama yang diberikan oleh umat manusia demi menyebut YANG TUNGGAL itu. Tanpa nama tiada yang dapat dijelaskan (Sutra Samdhirmocana). Itulah sebabnya para bijaksana menggunakan nama sementara guna mengajarkan YANG TUNGGAL itu. Namun itu bukanlah YANG TUNGGAL sendiri. Ibaratnya jari telunjuk menunjuk bulan. Jari telunjuk bukanlah bulan itu sendiri. Banyak orang memperdebatkan jari telunjuk. Ada yang memperdebatkan telunjuk lurus atau telujuk bengkok. Telunjuk mulus atau telunjuk berkudis. Mereka lupa melihat "rembulan" yang hendak ditunjukkan oleh telunjuk tersebut.

Marilah kita menjadi orang yang eling dan waspada. Semua Dharma hanya bertujuan membangkitkan belas kasih dan cinta kasih. Lain itu bukan Dharma!

OM NAMAH SIVAYA
OM BHATARA BUDDHA NAMAH SVAHA

BHINNEKA TUNGGAL IKA TAN HANA DHARMA MANGRWA
OM SVASTI ASTU
OM SARVA MANGGALAM!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar